Jumat, 25 September 2009

KETUPAT LEBARAN

Di keluarga orang tua saya rasanya belum lebaran kalau belum membuat ketupat, membersihkan rumah dengan mencat kembali dengan warna putih, beli pakaian baru, sungkeman dan saling mengunjungi tetangga maupun handai taulan. Itu sudah tradisi yang berlangsung lama sejak saya masih kecil. Adapun tradisi yang mulai hilang adalah membuka tabungan dengan memecahkan celengan dari gerabah (keramik). Maklum anak-anak sekarang banyak yang mulai menabung di Bank maupun tabungan warna-warni dari seng (logam) dengan gambar super hero idolanya.

Tradisi membuat ketupat menurut Prof. Dr. Mahfudz MD (Ketua Mahkamah Konstitusi) konon berasal dari para Wali Sanga yang kesohor itu. Ketupat yang bahasa Jawa disebut Kupat adalah singkatan dari laKU paPAT (perbuatan empat) yang dilakukan setiap selesai puasa dan menyambut 'Idul Fithri. Orang Jawa khususnya Jawa tengah menyebut Idul Fithri itu sebagai Bakdo (dari kata ba'da yang artinya sesudah) dan juga disebut lebaran (lebar dalam bahasa jawa yang juga berarti sesudah).

Adapun Laku Papat ketika lebaran itu adalah :
1. Lebar
Artinya puasanya sudah selesai dan selanjutnya memasuki babak baru yaitu syawwal (peningkatan).
2. Lebur
Artinya hancur, hilang, musnah. Dengan selesainya puasa Ramadhan diharapkan segala dosa dan kesalahan dapat hilang musnah dan mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
3. Luber
Artinya melimpah ruah. Dengan "kemudahan-kemudahan" dalam hal "mencari pahala" di bulan Ramadhan maka akibatnya "ganjaran" itu melimpah ruah. Juga dapat berarti karena banyaknya berderma maka ibarat ember yang penuh air maka infaq dan shadaqah itu melimpah ruah di bulan penuh berkah itu.
4. Labur
Artinya cat dengan warna putih (dari batu gamping). Hasil "training" Ramadhan diharapkan akan lahir pribadi-pribadi yang putih bersih laksana terlahir kembali.

Selain yang diatas, ternyata di kampung saya ada pantun (parikan -Bhs Jawa) yang berkaitan dengan ketupat.

Kupat janure tuwa
Kula lepat nyuwun ngapura
Kupat dudue santen
Kula lepat nyuwun pangapunten

(Ketupat janurnya tua
Saya salah minta dimaafkan
Ketupat kuahnya santan
Saya salah minta dimaafkan).

Sekian dulu para sahabat semua :
Taqabbalallahu minna wa minkum
minal 'aidin wal faizin !!!!!

Selasa, 15 September 2009

POLITIK SANG KANCIL

Kancil adalah binatang yang hebat. Barangkali dialah satu-satunya binatang yang menyandang gelar ‘zoon politicon’. Betapa tidak. Anjing, harimau, gajah dan buaya adalah beberapa korban dari ‘politici on lie’-nya.

Debut Sang Kancil dipercaturan politik rimba raya cukup menimbulkan kekaguman. Bahkan reputasinya mampu menenggelamkan mitos kura-kura si pemilik akal bulus. Meskipun demikian, binatang yang tidak lebih besar dari anak kambing itu, bukanlah binatang cerdas. Tetapi lebih tepat kiranya bila dikatakan binatang licik: licin plus cerdik.

Sebagai pembual, Sang Kancil tidak pernah tanggung-tanggung. Untuk keselamatannya dalam pertarungan rimba raya, tokoh dongeng ini tanpa malu-malu mencatut nama ‘The Great Solomon King of Israel’. “Aku ini duta yang diutus untuk menjaga benda-benda pusaka milik Kanjeng Nabi Sulaiman”, katanya setiap kali terjepit.

Awal kisahnya, Sang Kancil pernah ditangkap Pak Tani, pemilik kebun mentimun yang sering dicuri Kancil. Tetapi berkat kelicikannya, pencuri mentimun itu berhasil lolos dari kurungan Pak Tani. Lolosnya Sang Kancil ini merupakan pengalamannya yang pertama dalam hal kibul-mengibul. Dan sungguh fantastis, yang ditipu kali ini adalah binatang yang terkenal cerdas: anjing.

Banyak yang mengakui, bahwa anjing adalah binatang pandai - sehingga ada anjing yang menjadi astronot maupun polisi - tapi dalam dongeng ini, anjing terpaksa mengakui keunggulan Sang Kancil. Anjing itu mau menggantikannya sebagai tahanan Pak Tani dengan satu janji: siapapun yang yang dikurung Pak Tani akan diambil menjadi menatunya. Anjing terpikat bujukan itu, Sang Kancil pun bebas.

Prestasi Sang Kancil berikutnya yang pantas diacungi jempol adalah ketika pelanduk itu mengecoh gajah. Dengan sukarela binatang gemuk ini mau masuk sumur, menggantikan Sang Kancil yang terperosok di dalamnya. Dasar gajah binatang goblok, ketika Sang Kancil mengatakan: “Lihatlah keatas Jah ..., langit sudah bergerak, sebentar lagi akan ambruk, dan dunia akan kiamat. Yang selamat hanyalah mereka yang ada di dalam sumur !” Binatang berhidung panjang itu mau saja menelan mentah-mentah bujukan pembual licin itu. Besar tubuh dan ototnya ternyata tidak mampu menolongnya agar terhindar dari tipuan Sang Kancil yang brilian.

Nasib apes berhadapan dengan Sang Kancil, ternyata juga dihadapi Raja Rimba: macan loreng. Carnivora yang memiliki gigi runcing dan kuku tajam serta power hebat itu, ternyata harus tertipu tiga kali.

Pertama, ketika dia ingin memin-jam ‘Sabuk Sulaiman’ yang dijaga Sang Kancil. Dengan trik yang jitu penipu ulung itu behasil mempraktekkan taktik ‘devide et impera’. Sehingga, meskipun akhirnya menang, raja rimba terpaksa babak belur bertarung dengan ular.

Kedua ketika raja rimba itu ingin mendengarkan suara merdu ‘Gong Sulaiman’ yang juga dijaga oleh Sang Kancil. Maka habislah badan raja hutan itu disengat lebah yang marah karena rumahnya terusik.

Dan yang terakhir, sungguh sial. Carnivora itu harus mati secara tragis. Pemakan daging itu tergencet lidahnya hingga putus ketika meminjam ‘Seruling Sulaiman’ yang dijaga Sang Kancil.

Kepiawaian puncak Sang Kancil dalam menerapkan jargon ‘menjadi politikus harus pandai menipu’, tampaknya semakin mantap. Hal ini dbuktikan ketika dia berhasil mempecundangi buaya, Si Raja Air.

Sebagai tukang tipu, buaya sangat terkenal. Sebutan ‘air mata buaya’ misalnya, merupakan bukti pengaku-an yang diberikan kepadanya karena keahliannya berpura-pura itu. Selain itu, teknik menyaru sehingga mirip kayu hanyut, adalah kepandaian lainnya yang juga dimiliki binatang melata tersebut.

Kalau anjing, gajah, harimau, buaya, semuanya menyerah, tidak adakah yang mampu mengalahkan Sang Kancil? Konon, ada satu jenis binatang yang mampu menga-lahkannya. Anehnya binatang ini mengalahkan Kancil bukan karena kelebihan kekuatan yang dimilikinya, melainkan karena kelemahannya. Bukan karena sangat cepat larinya, tetapi justru sangat lambat jalannya. Dialah Sang Keong yang berhasil menundukkan Sang Kancil dalam lomba adu balap.

Kancil yang terlalu percaya diri, menjadi sombong dan lupa. Kecerdikan dan kelicinan yang dimiliki Sang Kancil, ditaklukkan oleh keuletan dan kesabaran yang dimiliki Sang Keong. Sang Keong bukanlah korban: ‘wong bodho dadi dadi pangane wong pinter’ (orang bodoh makanan empuk bagi orang pandai). Sehingga binatang yang memiliki falsafah hidup: alon-alon waton kelakon dan gliyak gliyak waton kecandak itu, tidak bisa ‘dipinteri’, tidak bisa dikalahkan Sang Kancil.

Dalam pertarungan-pertarungan politik, agaknya keuletan, kesabaran dan kejelian juga diperlukan. Dan bukannya sekedar tipu-menipu, kibul-mengibul, ‘asu-asunan’. Malah, kalau politik akhirnya terjerumus ala politik Sang Kancil, pada akhirnya akan ‘al ghayyah tubarir bil washilah’ (tujuan menghalalkan cara). Di sini, Sang Kancil perlu belajar. Di atas langit masih ada langit. Di atas yang pintar masih ada yang lebih pintar lagi. Dan satu lagi pesan buat Sang Kancil: politik tidak harus berbau busuk.

Senin, 14 September 2009

LAUK PALING LEZAT

Saya pernah menganggap makanan paling lezat adalah sate. Sehingga setiap melewati warung sate - apalagi kalau sate kambing , perut terus keroncongan minta di isi. Sate bagi saya waktu itu makanan nomor satu yang tidak setiap hari mampu dibeli. Tetapi dahulu ketika bersama kawan-kawan mendirikan warung sate kambing di Yogyakarta, pendirian saya itu berubah. Mungkin karena setiap hari makan sate maka saya menganggap bahwa sate bukanlahlah makanan yang paling nikmat. Rupanya saya mengalami kebosanan (jeleh -bahasa Jawa). Pada saat itu saya berpendapat tempe gorenglah lauk yang paling lezat. Rupanya saya kembali kepada kesukaan di waktu kecil. Saya suka sekali tempe goreng yang hangat yang berasal dari tempe karya tetangga di dusun kami. Tempe tersebut ketika mentah dibungkus dengan daun pisang dan diperam sampai keluar jamur tempenya menyeluruh.

Itulah rupanya keinginan manusia itu selalu berubah-ubah. Saya yang setiap hari makan tempe selalu merindukan sate dan ketika saya setiap hari makan sate kemudian merindukan tempe. Begitu juga orang pergi berwisata. Kalau orang desa seperti saya yang setiap hari melihat sawah, pematang, gunung serta sungai, kalau berswisata inginnya pergi ke kota. Tetapi seorang sahabat saya yang hidup di kota besar selalu bilang ke saya kalau hidup di desa seperti saya itu nikmat. Oleh karena itu setiap dia bertandang ke rumah saya selalu ingin berjalan-jalan menikmati alam pemandangan pedesaan. Nah.... aneh kan ?

Suatu ketika saya makan bareng bersama mbah Bakir. Mungkin karena waktu itu mbah Bakir melihat makan saya tak bersemangat kemudian menasehati, "Tahukah kamu, apakah lauk yang paling lezat itu ?".
Saya pun dengan mantap menjawab, "Tentu sate, tongseng dan makanan-makanan mahal di restoran mbah !" Dengan tersenyum mbah Bakir yang pernah malang melintang menjadi sopir truk Jogja-Cilacap menjelaskan, "Dari pengalaman saya jajan di warung-warung maupun restoran maka lauk yang paling lezat adalah rasa lapar dan haus."

Ketika di bulan Romadhon tahun ini mbah Bakir telah tiada karena beliau meninggal dunia 2 Agustus 2009. Saya pun teringat nasehatnya itu. Rupanya di bulan penuh berkah ini Allah sedang memberikan lauk yang paling lezat untuk orang-orang yang berpuasa. Allah melalui "pelatihan shaum romadhaon" mengembalikan "rasa lapar kita" agar kita dapat merasakan kembali nikmatnya makan-minum.

Selamat berpuasa dan menikmati "lauk yang paling lezat" !!!

Minggu, 06 September 2009

RENUNGAN SURAT AL FALAQ

Seperti juga an Naas, al Falaq merupakan bentuk ta'awudz yang lain. Dalam surat ini kita oleh Allah diingatkan bahwa dalam hidup itu selalu mengintai empat "bahaya (kejahatan)" besar. Agak berbeda dengan surat an Naas yang cenderung menghadapi "bahaya (kejahatan) psikologis", maka dalam surat yang ke 113 ini lebih mengarah ke kejahatan (bahaya) fisik.

Bahaya (kejahatan) yang pertama adalah yang ditimbulkan oleh apa saja yang telah menjadi ciptaan Allah (ma khalaq). Bahaya jenis ini cenderung alami misalnya: bencana alam, kecelakaan, diserang binatang buas dll.

Bahaya (kejahatan) yang kedua adalah yang timbul akibat "malam apabila semakin gelap gulita". Semakin malam semakin berbahaya. Mengapa ? Ya, karena pada saat seperti itu akan keluar binatang-binatang malam. Tetapi saya menduga, kalimat "malam apabila semakin gelap gulita". Ghasiqin idza waqab merupakan ungkapan untuk menunjukkan bahaya kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang semakin tidak menentu. Ketika kehidupan semakin kacau maka apapun bisa terjadi. Apabila terjadi kesenjangan ekonomi yang tajam maka kriminalitas meraja lela. Begitu juga apabila konflik-konflik politik itu semakin menjadi-jadi, maka pembunuhan politik pun akan sangat mungkin terjadi. Bila dalam dakwah bertemu suasana demikian, maka akan sulit membedakan mana kawan mana lawan. Persis kalau kita ditimpa kegelapan di malam hari. Kita akan sangat sulit melihat dan membedakan wajah orang. Oleh karena ketidak mampuan inilah, maka kita perlu berta'awudz kepada Allah SWT.

Bahaya (kejahatan) ke tiga adalah bahaya yang diakibatkan berhembusnya provokasi, agitasi yang cenderung menghasut sehingga menimbulkan fitnah dimana-mana. Antara bahaya kedua diatas dan bahaya ketiga ini sering terjadi secara bersamaan. Munculnya manusia-manusia yang suka "meniup-niup buhul tali" adalah awalnya sebuah lemparan gagasan yang mampu merusak sendi-sendi kemasyarakatan berupa kontrak sosial. Bila ini berketerusan maka akan terjadi masyarakat tanpa hukum (lawlessness). Ibarat benang, tali temali kemasyarakatan sudah terlanjur kusut sehingga sulit diurai. Dan ini tentu saja suatu kondisi yang sangat berbahaya.

Bahaya (kejahatan) yang keempat adalah bahaya yang ditimbulkan oleh orang yang dengki bila orang tersebut mewujudkan kedengkiannya (hasidin idza hasad). Kalau yang dengki itu seorang penguasa, maka akan terjadilah tirani ala Fir'aun menindas Nabi Musa. Dan ini terjadi lagi pada masa Nabi Muhammad dengan munculnya sepak terjang Abu Jahal dan konco-konconya. Situasi ini tentu saja sangat berbahaya. Permusuhan sudah dilakukan terang-terangan. Kedengkian yang semula masih terpendam di dalam dada sudah mewujud menjadi sebuah konflik yang terbuka.

Dari ke empat bahaya (kejahatan) tersebut, kapankah akan terjadi ? Jawabannya adalah selama "dakwah kebenaran ajaran Allah itu dikumandangkan" maka ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan akan terjadi. Intensitas itu akan semakin meninggi terutama bahaya ke 2,3 dan 4 seiring dalam kehidupan ini sedang terjadi proses transsisi. Transisi semisal Orde penjajahan ke orde merdeka, orde lama ke orde baru, orde baru ke orde reformasi dan seterusnya merupakan tempat suburnya bahaya tersebut.

Transisi atau peralihan itulah falaq (pecah, membelah). Peristiwa ini mirip dengan proses pergantian dari malam hari yang gelap menuju fajar yang terang. Dan kita tahu pemroses kejadian itu tidak lain adalah Allah selaku Rabbul Falaq.

Menghadapi berbagai macam bahaya (kejahatan) yang seperti uraian diatas selain berusaha menghindar, tentu saja juga senantiasa mohon perlindungan dari Allah SWT.

Wallahu 'alam bi al shawab

Kamis, 03 September 2009

RENUNGAN SURAT AN NAAS

Surat ini menurut sebagian para mufasir merupakan surat yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW karena beliau konon kena sihir (santet). Sehingga kebanyakan masyarakat muslim menganggap surat an Naas adalah "obat" bagi mereka yang terkena sihir, santet maupun tenung. Saya sendiri setelah mencoba mencermati message yang ada didalamnya semakin tidak percaya kalau surat ini "dihadiahkan" Allah kepada manusia hanya sebatas hal tersebut. Kalau memang betul surat ini berkait dengan tukang sihir, maka surat yang ke 114 ini menjadi kurang fungsional. Mengapa? Ya, karena bukankah di jaman sekarang walaupun masih banyak tukang sihir tetapi jauh lebih banyak persoalan-persoalan yang tidak melibatkan hal itu.

Surat an Naas di-nuzulkan jauh lebih luas dari pada menjawab dunia santet-menyantet. Yang pasti surat ini menyadarkan kita bahwa dalam hidup kita selalu ada "kekuatan-kekuatan jahat" yang mengitari kita. Kekuatan jahat itu paling tidak menurut surat an Naas ini terbagi dua. Pertama, kekuatan jahat yang disebabkan faktor tak terlihat (al Jinnat). Sedangkan kekuatan jahat yang kedua adalah faktor yang terlihat dan regular (an Naas). dari dua model kekuatan itu semuanya bisa bersifat merusak (destruktif) terutama dari sisi psikologis manusia. Pusat kesadaran manusia (shudhurin naas) menjadi sangat terganggu akibat pressure yang bisa dilakukan dua kekuatan jahat tersebut.

Kita ambil contoh misalnya media massa. Sebagai pembuat public opinion, dia bisa memfitnah, melakukan black campaign bahkan bisa sampai melakukan stigmatisasi sehingga seseorang menjadi hancur reputasinya (character assasination). Mass media menjadi kekuatan tak terlihat (al Jinnat) karena bergerak pada dunia informasi dan komunikasi yang terlalu abstrak. Kekuatan ini menurut surat al Lahab disimbulkan dengan simbol "pembawa kayu bakar" (hamalatal khatob). Secara fisik mungkin perlawanannya tidak frontal, tetapi melalui "jalur tersembunyi" yang justru lebih berbahaya. Sedangkan kekuatan al Naas, pressure yang dilakukan lebih frontal dan terlihat. Dalam dunia preman dengan selalu menunjukkan kekuatannya ototnya. Dalam sebuah negara barangkali dengan memperlihatkan kekuatan militer beserta mesin-mesin perangnya. Semua itu dilakukan untuk melakukan perang urat syaraf (psywar) agar lawan takut sebelum bertarung.

Dari uraian diatas maka saya melihat surat ta'awudz ini dipersiapkan guna menghadapi perang urat syaraf yang dilakukan oleh musuh-musuh Rasulullah SAW ketika berdakwah. Goncangan-goncangan jiwa bisa terjadi akibat intimidasi dan teror sehingga menimbulkan perasaan ragu-ragu (al waswas) pada pusat kesadaran manusia. Perasaan bimbang terhadap terhadap ajaran Allah yang dibawa Rasulullah SAW itulah yang ingin di bidik oleh musuh-musuh dakwah.

Didalam surat an Naas ini juga dijelaskan sifat al waswas yang selalu hilir mudik datang (al khonnas). Dalam salah satu kamus dinyatakan itulah yang disebut pikiran/inspirasi jahat (fikrun sirirun) yang selalu datang dan pergi menghinggapi pikiran dan hati manusia. Nah menghadapi musuh yang model inilah yang kan membuat kita sebagai manusia kesulitan. Mengapa ? Ya karena musuh itu telah merasuk dan melekat pada psikologi diri kita.

Dalam tarikh dikisahkan bahwa, stigmatisasi Rasulullah SAW sebagai pribadi yang gila (majnun) cukup efektif, sehingga Muhammad bin Abdullah yang dulunya dikenal sebagai orang yang sangat kredibel (al Amin) menjadikan orang ragu untuk mendukungnya. Dalam kaitan ini, apabila tak kuat menghadapinya maka seseorang akan bisa mengalami stress maupun depresi.
Untuk mengantisipasi hal tersebut Allah SWT memberikan "obat" yaitu surat an Naas ini. Dan hanya dengan melakukan semacam auto sugesti dengan cara"'menyandarkan" hidup kepada rabb , malik dan ilah manusia maka "perebutan" kawasan hati dalam tubuh manusia bisa dimenangkan. Dari sinilah insya Allah akan hadir kemantapan hati (liyathmainal qalbi).
Selanjutnya dengan modal itu, semangat dan optimisme muncul kembali.

Inilah bukti pernyataan, La takhof wala tahzan innallaha ma'ana, (Jangan takut dan jangan bersedih Tuhan bersama kita).

Wallahu 'alam bi al showab.