Sabtu, 06 November 2010

ASPIRASI MERAPI


Para pengamat gunung Merapi di Yogyakarta, akhir-akhir ini dipaksa harus kerja lembur. Frekuensi gempa di puncak gunung makin sering terjadi. Seismograf yang selalu rajin mencatat aktivitas merapi seolah mengabarkan:"Waspada, bisa jadi sebentar lagi gunung yang ditunggu mbah Marijan ini akan Meletus !". Itulah informasi awal yang bisa diamati oleh manusia. Walaupun, tanda-tanda itu kadang-kadang tak berlanjut menjadi letusan, namun bersikap awas itu tetap perlu.
 Bila magma tertahan, tak menemukan jalan keluar, maka "glerrr...rrr"' tinggal menunggu hari. Letusan vertical yang sudah menjadi kebiasaan 'batuk' ala gunung yang bersanding dengan Merbabu itu, biasanya diikuti dengan merebaknya 'wedhus gembel'. Desa-desa yang ada di lereng merapi hangus terbakar. Lava pijar yang sangat panas meluluhlantakkan apa saja yang ada dihadapannya. Penduduk lari pontang-panting mencari jalan keselamatan masing-masing. Dan kita hanya melihat dari jauh, betapa kuatnya makhluk Allah yang bernama Merapi ini.

Gunung Merapi meletus? Oh, bukan. Mbah Marijan sang juru kunci gunung itu mengatakan, "Janganlah mengatakan bahwa gunung Merapi sedang meletus, apalagi merusak. Tetapi katakanlah, gunung merapi ini sedang membangun".Apa yang dikatakan sang abdi dalem Sri Sultan itu ada benarnya. Lihatlah! Berapa rumah, jembatan, bendungan dan berbagai bangunan bisa berdiri gara-gara 'ulah Merapi' ? Merapi, bukan sekedar menghasilkan bencana, melainkan juga pasir kualitas tinggi. Bahkan, gunung kebanggaan 'Wong Jogja' itu, selalu meninggalkan kesuburan tanah untuk masyarakat Sleman, Boyolali dan Magelang.
Bagaimana kaitan gunung Merapi dengan ancaman unjuk rasa tanggal 20 oktober 2010?

Ketika malam ini saya tulis uraian ini, saya tidak tahu apakah aspirasi yang sudah menyesakkan dada bagi para demonstran ini akan berakhir dengan 'letusan' ataukah hanya 'mlempem adem ayem'?. Ibarat gunung Merapi menyimpan kekekuatan, seperti itulah keinginan-keinginan yang tak tersalurkan menumpuk kekuatan. Magma, bila tidak segera menemukan jalan keluar, akan menyebabkan tremor (getaran) dimana-mana. Walhasil, bukan tidak mungkin gempa vulkanik-politik akan terjadi. Bukankah politik itu menurut para pakar, selalu dikitari kepada segala hal-hal yang tak mungkin menjadi mungkin terjadi.

Kegoncangan dan membuncahnya isi bumi digambarkan dengan indah dalam al-Qur'an surat al-Zalzalah. Dengan didahului kalimat bersyarat, "Apabila bumi digoncang dengan segoncang-goncangnya, yakni (lantaran) perut bumi mengeluarkan bebannya (berupa material-material yang berat magma/ lava pijar). Dan manusia pun (akibatnya) bertanya, ada apa ini gerangan ?".

Bumi ibarat hati manusia. Didalamnya tersimpan magma berupa aspirasi-aspirasi yang terus bergejolak. Sewaktu-waktu aspirasi ini akan "menggetarkan" jagad perpolitikan kita. Bahkan, bila sampai "meledak" tak terkendali, akan membuat setiap insan di republik ini bertanya:"Apa yang sebenarnya telah terjadi?, Mengapa konstelasi perpolitikan kita jadi begini ?"

Ingat pesan mbah Marijan. Gunung Merapi bukan meletus, melainkan membangun. Akankah letusan-letusan para pendemo itu akan menyuburkan tanah politik republik ini ? Ataukah justru akan memunculkan konflik yang berkepanjangan yang sulit disembuhkan?
Inilah saatnya pembuktian, "Siapa yang emas tetaplah emas dan siapa yang loyang tetaplah loyang". Hati-hatilah, karena "magma panas" menerjang kemana-mana. Sementara itu, "gempa-gempa susulan" terus akan terjadi. Wallahu 'alam