Minggu, 16 Desember 2012

BERANI JUJUR


                  
                   TEMA yang diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Internasional  yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2012  adalah  “Berani Jujur Hebat”. Suatu tema yang  diharapkan akan dapat memperbaiki bangsa ini dari keterpurukan yang berkepanjangan.
                Jujur merupakan sesuatu yang mahal di negri ini. Bahkan banyak kalangan berpendapat, untuk berkata dan bertindak secara jujur diperlukan suatu keberanian ekstra. Dalam suatu komunitas yang dipenuhi ketidakjujuran, kejujuran yang sejatinya merupakan akhlak  mulia ini sering dianggap aneh. Dalam situasi seperti itu, orang jujur bisa hancur lantaran dikeroyok oleh mereka yang tidak jujur. Dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi, seringkali kita melihat dengan jelas orang jujur justru dijadikan kambing hitam. Akibatnya, para tersangka enggan  berkata jujur karena khawatir nasibnya  yang akan semakin tidak jelas.
                Didunia politik, ketidakjujuran  kelihatannya sudah jamak dilakukan.  Ini bisa terjadi barangkali karena adanya pendapat bahwa politik sejatinya adalah perang (Karl von Clausewitz, 1780-1831). Dengan alasan seperti itu, berpolitik adalah berperang walaupun dalam bentuk yang lebih kecil. Dalam berperang,  tidak jujur alias berbohong adalah bagian  dari taktik dan strategi memenangkan perang. Dari sinilah tolak tarik antara politik sebagai panglima dan supremasi hukum diuji. Seruan berani jujur sesungguhnya ajakan agar rakyat bangsa ini kembali menjadikan negara ini negara hukum (rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat).
                Dalam konsep Emotional Spiritual Quotient (ESQ), orang boleh saja tidak pandai tetapi harus jujur. Keadaan itu akan lebih baik dari pada  seseorang itu pandai tetapi tidak jujur. Orang pandai yang tidak jujur akan menimbulkan malapetaka yang lebih banyak dibandingkan dengan orang bodoh yang tidak jujur. Dengan logika seperti itu, para penegak hukum mestilah diisi orang-orang yang jujur. Penegak hukum yang tidak jujur akan menimbulkan kerusakan yang lebih dahsyat dibandingkan orang biasa. Polisi, hakim, jaksa, pengacara maupun petugas KPK diharapkan seperti sapu yang bersih. Sebelum membersihkan berbagai kotoran dan sampah mestilah mereka harus bersih terlebih dahulu. Prasyarat untuk dapat bersih salah satunya adalah kejujuran.
                Untuk itu marilah kita renungkan firman Allah SWT, "Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan (ketidakjujuran), hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta." (QS An-Nahl [16]: 105). Nah, marilah dengan kesempatan yang masih ada  ini kita bangun bangsa ini dengan mulai jujur terhadap diri sendiri, orang lain dan Allah SWT. Dengan modal kejujuran semoga negri Indonesia akan lebih baik. Amin.

Minggu, 02 Desember 2012

RUMAH HIKMAH


                BEBERAPA waktu yang lalu, masjid di tempat saya kerawuhan ustadz Muhaimin Iqbal. Ustadz lulusan IPB Bogor ini memberikan ceramah perihal perlunya umat Islam memiliki tiga pilar utama yaitu Baitullah (masjid), Baitul Maal (lembaga keuangan Islam) dan Baitul Hikmah (lembaga ilmu pengetahuan).
                Dalam pemikiran ustadz yang juga dikenal sebagai pakar asuransi Islam ini, Baitul Hikmah tidaklah sama dengan majlis-majlis taklim yang sudah ada selama ini. Bila majlis taklim lebih sering membicarakan hal-hal yang berkait ibadah mahdhah (seperti wudhu, shalat, puasa dll), lembaga ini fokus perhatiannya berorientasi memecahkan masalah keumatan (problem solving oriented).
                Ustadz yang juga Direktur Utama Gerai Dinar ini menjelaskan bahwa Baitul Hikmah  merupakan  the House of Wisdom, yakni  tempat yang  akan menghadirkan budaya diskusi-diskusi ilmu lintas disiplin, yang menjadi dasar amal nyata dalam bentuk solusi-solusi riil atas kebutuhan atau problem yang dihadapi oleh umat Islam. Selanjutnya, Baitul Hikmah agar lebih familiar disebut beliau sebagai Rumah Hikmah.
                Gagasan Rumah Hikmah ini diinspirasi dari Baitul Hikmah  yang didirikan pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M). Lembaga yang kegiatannya sering dikuti oleh Sang Khalifah ini merupakan  pusat ilmu pengetahuan dan perpustakaan paling hebat pada jamannya. Di lembaga ini  para sarjana berkumpul untuk melakukan penerjemahan berbagai disiplin ilmu seperti  bidang astrologi, matematik, pertanian, obat-obatan dan falsafah serta diskusi-diskusi ilmiah.
                Gagasan baru yang sebenarnya sudah lama ada ini,  kiranya  perlu digelorakan kembali di lingkungan masjid-masjid kita agar masjid benar-benar menjadi sentral kegiatan umat Islam dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada.  Masjid yang dulu terkesan angker, dekat kuburan dan sering dipakai untuk menyimpan payung dan keranda jenazah, berubah menjadi masjid yang ramah dan merupakan bagian solusi problem masyarakat. Sehingga, insya Allah tak lama lagi kita akan melihat di sekitar masjid akan ada  observatorium, lembaga pendidikan,  digital library, hotspot area, peralatan multi media, klinik kesehatan, ambulan, laboratorium bahasa, terjemah Alquran dan Alhadits dalam berbagai bahasa,  koperasi simpan pinjam tanpa riba, toko serba ada dan lain sebagainya.
                Akhirnya dengan gagasan Rumah Hikmah ini, seolah kita diingatkan kembali seruan Rasulullah, “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah” (HR. Tirmidzi).
(Serambi Jumat, Koran Merapi Pembaruan 30 Nopember 2012 oleh Ajib Setya Budi).

Kamis, 18 Oktober 2012

TAK ADA YANG SIA-SIA


BAPAK saya Muhammad Bakir almarhum, pernah mondok di sebuah pesantren tradisional di kawasan Jejeran Wonokromo Bantul. Salah satu tips yang beliau lakukan ketika ingin mendapatkan lauk agar lebih lezat adalah dengan melakukan pekerjaan lebih rajin dibanding biasanya. Pagi-pagi sekali setelah shalat subuh, beliau segera menimba air di sumur dan mengisi genthong (tempayan) serta bak air yang ada di rumah bapak Kiai. Tidak berhenti sampai disitu, beliau kemudian menyapu halaman sampai bersih. Menurut cerita beliau, biasanya setelah semua pekerjaan itu dilakukan, hidangan sarapan paginya akan memakai telur ayam atau bahkan lebih enak lagi . Rupanya, walaupun tanpa meminta secara verbal, bapak saya telah berhasil mengambil hati keluarga Pak Kiai tempat beliau mondok. Hasilnya, hidangan nan lezat pun terhidang.

Saya pernah bertanya kepada bapak saya, “Bagaimana kalau Bapak waktu itu sudah bekerja rajin melebihi dari biasanya tetapi ternyata makanan dan lauk yang terhidang hanyalah tempe dan krupuk?” Dengan entengnya beliau menjawab, “Aku akan menerimanya dengan ikhlas dan senang hati, karena toh aku telah berbuat baik untuk keluarga pak Kiai. Mudah-mudahan segala kegiatanku mendapat ganjaran dari Allah SWT”. Katanya sambil tersenyum.

Secara sederhana, cara berpikir bapak saya di atas adalah memberi dulu baru kemudian meminta. Berbuat baik dulu kepada orang lain baru akan mendapatkan kebaikan pula. Cara berpikir seperti itu oleh para pakar motivasi disebut berpikir dengan otak kanan. Suatu model berpikir yang kreatif yang tidak menggunakan angka-angka matematika biasa atau bahkan seringkali harus keluar dari logika biasa (out of the box). Biasanya, dalam hidup yang semakin sulit ini kita cenderung berpikir dengan otak kiri yang cenderung logis dan matematis. Inginnya diberi makanan dan lauk yang lezat dulu barulah kita akan lebih giat dari biasanya. Kita cenderung tidak mau rugi dulu apalagi dengan hasil yang belum pasti .

Sebenarnya bagi orang yang beriman dan beramal saleh, hidup ini tidak ada yang sia-sia dan rugi (Al-Ashr 1-3). Tidak ada doa yang yang tak dikabulkan (Al-Mu’min : 60). Tidak ada amal saleh yang tak berbalas. Tidak ada nafkah yang hilang. Allah berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (Al-Baqarah:261).

Nah, dalam hidup yang singkat ini, marilah kita segera berbuat baik kepada seluruh makhluk. Insya Allah, dengan cara itu kita dapat “membeli” kebahagiaan. Amin!

Minggu, 30 September 2012

GIGO



                BARU-baru ini kita dikejutkan dengan sebuah berita yang amat menyayat hati. Seorang pelajar tewas ditusuk temannya sendiri di depan kelas sebelum pelajaran pertama dimulai. Pembunuhan itu disaksikan oleh sejumlah teman-temannya satu kelas. Penyebab peristiwa mengenaskan itu adalah gara-gara saling ejek antar mereka.  Lebih memilukan lagi ketika mendengar penjelasan Komisi Nasional Perlindungan Anak yang mencatat bahwa sejak tahun 2011 korban akibat tawuran pelajar mencapai 339 kasus, dengan korban tewas mencapai 82 korban. Sebuah jumlah yang cukup untuk membuat  dua kelas.

                Suatu ketika, saya memasuki sebuah warung internet. Ketika tengah asyik melakukan browsing, tiba-tiba masuklah serombongan anak-anak SMP yang masih berseragam sekolah. Mereka ingin main game on line. Beberapa saat kemudian, warnet yang semula hening tiba-tiba menjadi hingar bingar. Gelak tawa dan umpatan seperti asu, gentho, celeng, bego dan bajingan mulai berhamburan dari mulut ABG itu.  Saya pun ngelus dada dan akhirnya keluar dari warnet yang tiba-tiba jadi terasa tak nyaman lagi. Perang kata-kata, sumpah serapah, misuh yang merupakan awal budaya kekerasan rupanya mulai tumbuh subur di kalangan generasi muda harapan bangsa itu.

                Dalam istilah komputer dikenal istilah  GIGO (Garbage In Garbage Out). Artinya bila suatu pemrograman itu bernilai sampah yang masuk, maka hasilnya sampah pula yang keluar. Dengan kata lain, bila sebuah data yang dimasukkan salah, maka hasilnya akan salah. Sebaliknya bila data yang dimasukkan benar, maka hasilnya akan benar. Umpatan, sumpah serapah maupun tawuran yang dilakukan anak-anak kita, muncul dari hasil “pemrograman” yang salah. Anak-anak hanyalah mereproduksi dari apa yang dia lihat, dengar dan rasakan. Otak manusia ibarat karet busa. Otak apat menyerap, menyimpan dan mengeluarkan kembali informasi. Perbuatan anak-anak maupun remaja yang mengerikan itu adalah buah dari proses belajarnya yang diperoleh di lingkungannya.

                Allah SWT menasehati kita agar senantiasa  menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”. Kejadian-kejadian di atas merupakan riak-riak api neraka di dunia ini. Marilah segera kita padamkan api itu dengan terus menerus memperhatikan anak-anak kita dengan  menyediakan lingkungan serta dapat menjadi contoh yang baik!
                Kegagalan para orang tua untuk memahami dunia anak-anak serta tuntutan dunia pendidikan yang tinggi telah membuat anak dalam keadaan selalu tidak bahagia. Marilah kita dampingi anak-anak kita dalam menghadapi problematikanya! Bahagiakanlah mereka dalam menjalani proses pertumbuhannya! Semoga dengan cara seperti itu kita akan selamat dari neraka di akhirat. Amin.

Jumat, 01 Juni 2012

GUNDUL PACUL


GUNDUL PACUL sebagai sebuah lagu memiliki banyak tafsiran. Ada yang menganggap lagu  tradisional ini merupakan bentuk sindiran bagi tentara Jepang yang dikenal  pongah (gembelengan) menjajah Republik Indonesia. Anggapan ini bisa dimaklumi mengingat kebanyakan tentara Jepang biasanya berkepala plontos alias gundul.
            Tafsir lainnya menyatakan bahwa tembang ini sebenarnya berisi pesan tentang rahasia piramida Jawa yang konon tersimpan di gunung-gunung gundul di Nusantara. Di gunung gundul itu apabila digali (dipaculi), kita akan menemukan kemakmuran (harta karun) yang bisa dibagi untuk kesejahteraan bersama yang diibaratkan “segane dadi sak latar” (nasinya tumpah ruah memenuhi halaman).
            Lagu gundul pacul walaupun sederhana syairnya,  ternyata menyimpan  banyak nasehat. Walaupun demikian, kita hanya bisa meraba-raba kira-kira apa maunya dari pengarang lagu ini. Salah satu tafsir yang menarik lainnya adalah bahwa lagu  ini berkait dengan ilmu kepemimpinan (leadership).
            Dalam bahasa Jawa,  gundul sering diartikan kepala. Kita tahu,  bahwa kepala dalam tubuh kita sebagai pemegang fungsi komando bagi anggota tubuh yang lain. Dengan kata lain,  kepala sejatinya adalah pemimpin. Pemimpin yang baik memiliki empat hal yang tidak boleh lepas (ingat pacul adalah papat sing ora kena ucul). Empat hal tersebut adalah mata, telinga, hidung dan mulut. Kepala (gundul) bila tanpa keempat hal tersebut akan kehilangan fungsi-fungsi kepemimpinannya.
            Seorang pemimpin dituntut  mampu melihat masa depan (mata).  Pemimpin juga harus lebih banyak mendengar aspirasi rakyat yang dipimpinnya (telinga). Pemimpin mesti peka terhadap hal-hal yang berbau busuk perbuatan anak buahnya yang menyimpang (hidung). Disamping itu, seorang pemimpin hendaklah berkemampuan berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya (mulut). Pemimpin harus mampu memotivasi, mengarahkan, menegur  maupun memperingatkan orang-orang yang dipimpinnya.
            Pemimpin adalah manusia yang mau memikul amanah (nyunggi wakul). Maka seorang pemimpin pantang berlaku congkak (glelengan). Apabila glelengan itu dilakukan juga, cepat atau lambat amanah yang diembannya itu akan ngglimpang (jungkir balik) yang merusakkan  semua. Ibarat nasi maka sudah tumpah ruah memenuhi halaman (segane dadi sak latar).
            Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya.” Kita semuanya adalah pemimpin. Pemimpin bagi diri sendiri, keluarga maupun  masyarakat. Oleh karena itu, marilah kita jadi pemimpin yang senantiasa rendah hati dan jauh dari sifat gembelengan (sombong).  Pemimpin yang setia memegang amanah, mau mendengarkan dan mau mengerti  aspirasi rakyat yang dipimpinnya (always listening and always understanding).

PACUL

PACUL atau cangkul merupakan alat utama sekaligus simbol perjuangan para petani di desa. Jaman dahulu sebelum mekanisasi pertanian marak seperti sekarang ini, alat pengolah tanah ini benar-benar menjadi primadona dan selalu ada di setiap rumah di setiap kaum yang oleh Bung Karno dijuluki kaum Marhaen ini. Petani bersama paculnya adalah dua hal yang tak terpisahkan. Di mana ada petani di situ ada pacul, begitu pula sebaliknya. Pacul bagi kaum tani merupakan kunci pembuka pintu rejeki.
            Pacul dalam bentuk yang masih tradisional memiliki empat komponen utama penyusunnya yaitu kayu pegangan panjang (doran), pengikat doran  dengan logam  pacul (bawak), pengganjal  agar logam pacul tak lepas dari doran (tanding) dan terakhir adalah logam tajam bagian ujung pacul (landepan). Agar pacul berfungsi dengan baik, keempat komponen tersebut harus menyatu. Bila salah satu saja komponen itu terlepas maka pacul akan kehilangan fungsinya. Oleh karena sifatnya yang demikian maka pacul merupakan akronim dari  “papat sing ora kena ucul (empat hal yang tidak boleh lepas)”.
            Konon dahulu, penamaan alat pengolah tanah itu sebagai pacul diberikan oleh para wali di tanah jawa. Dan seperti biasanya, para wali memberi nama sesuatu hal,  pastilah selalu dikaitkan dengan sebuah prinsip-prinsip hidup dalam agama Islam. Cara itu terbukti sangat efektif dan mudah diingat oleh  kaum tani.
            Adapun filosofi pacul  yang pertama adalah “aja doran” artinya seorang manusia itu hendaknya jangan sampai  tidak percaya (maido) dengan ajaran Allah (Pangeran) sebagai sang pencipta kehidupan. Inilah aspek yang paling dasar dari beriman. Beriman bukanlah sekedar mempercayai belaka tetapi juga sekaligus membenarkan serta yakin bahwa ajaran Allah adalah kebenaran yang sesungguhnya (bener kang sejati).
            Prinsip yang kedua, dalam hidup ini modal keyakinan dalam hati saja belum cukup, melainkan harus dilengkapi dengan karya nyata yang merupakan gerak dari seluruh anggota badan. Itulah yang disebut “bawak” yaitu obahing awak: suatu aktivitas yang merupakan jelmaan dari amal saleh orang-orang beriman.
            Prinsip yang ketiga, hendaknya dalam hidup ini jangan sekali-kali menyekutukan Allah dengan apapun. Artinya sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia jangan  sekali-kali menandingkan Allah dengan apapun juga. “La ilaha illallah”, itulah tali pengikat yang membedakan seorang mukmin dengan seorang yang kafir. Dalam pacul ada “tanding” yang merupakan penguat ikatan  antara doran dan logam pacul agar tidak longgar sehingga mudah lepas. Prinsip ini mengandung pesan: “Jangan sekali-kali membuat tandingan-tandingan kepada Allah, karena sesungguhnya syirik adalah sebuah dosa yang sangat besar. (Inna syirka ladzulmun ‘adzim).”
            Prinsip yang keempat, manusia dicipta oleh Allah dilengkapi dengan akal dan hati. Akal dan hati yang tajam (landep), merupakan modal dasar dalam memahami dan menghayati ayat-ayat Allah yang tertulis dalam Alquran maupun yang tergelar dalam alam semesta.
Nah, marilah kita pegang erat-erat pacul kita dan jangan sampai lepas (ucul). Kita ayunkan pacul kita untuk mengolah ladang kehidupan ini. Bukankah Rasullah SAW bersabda, “Dunia ibarat ladang untuk akhirat”.

GALAU

            GALAU menjadi trending topik yang cukup populer akhir-akhir ini. Anggara Jalu, keponakan saya yang duduk di kelas II SMU, selalu mengatakan galau kalau kehabisan pulsa atau batere HP-nya low-bat. Pratama, anak saya yang duduk di SD kelas VI akan teriak galau, kalau tiba-tiba listrik mati. Maklum, baru sibuk mempersiapkan ujian nasional. Sementara itu, istri saya juga akan ikut-ikutan bilang galau kalau internet di rumah lemot dan sering putus nyambung. Ya, galau menjadi semacam ungkapan perasaan kejiwaan yang campur aduk antara kecewa, marah, menyesal, geram, cemas, ragu maupun situasi psikologis lainnya yang tak terkatakan.
            Kalau kita amati kehidupan kita akhir-akhir ini, masyarakat maupun para pemimpin kita kelihatannya memang sedang galau. Betapa tidak. Setelah heboh koruptor ditangkap KPK dan demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan BBM, situasi galau makin menjadi-jadi.  Kita menyaksikan para pelajar dan mahasiswa makin gemar tawuran. Geng-geng motor di beberapa tempat mengamuk. Sementara itu Brimob di Gorontalo baku tembak dengan beberapa oknum anggota Kostrad. Negri kita yang semula dikenal orang-orangnya ramah dan santun, tiba-tiba bersumbu pendek sehingga mudah meledak marah.
            Kita baru saja memperingati hari Kartini, hari Pendidikan Nasional dan segera memasuki hari Kebangkitan Nasional. Namun hasilnya ternyata hikmah peringatan hari-hari besar nasional tersebut seolah tak membekas dan hanya berhenti pada upacara seremonial belaka. Peringatan itu dilakukan hanyalah sebagai ritual rutin oleh para pegawai negri dan anak-anak sekolah. Hasilnya tentu saja kering dan hampa.
            Walaupun demikian, hidup tetap harus terus berjalan. Bagi orang yang beriman kepada Allah SWT, tak boleh ada kata putus asa. Andaikan jalan hidup kita ini sudah on the track (shiratal mustaqim), pastilah Allah akan mengeluarkan kita  dari kegelapan menuju cahaya (minna dzulumati ila nuuri) (QS. al-Baqarah : 257). Namun, jikalau  kenyataannya kehidupan kita itu justru sebaliknya, yakni dari cahaya menuju kegelapan (minna nuri ila dzulumat), kita jadi khawatir, jangan-jangan selama ini kita berada  pada jalan yang dimurkai (maghdhub) dan sesat (dhallin). Oleh karena itu,  segeralah kita bertaubat dan mulai perbaikilah diri sendiri terus menerus.  
            Dalam keadaan yang serba galau ini marilah kita renungkan lima obat hati (Tombo Ati) warisan para Kiai dulu. Obat hati itu ada lima perkara. Yang pertama, baca  Qur’an dan  maknanya.  Yang  kedua, sholat  malam  dirikanlah. Yang ketiga,  berkumpullah dengan  orang sholeh. Yang keempat,  perbanyaklah  berpuasa. Yang  kelima,  dzikir  malam  perpanjanglah.  Salah satunya   siapa  bisa  menjalani. Moga-moga Gusti Allah mencukupi !” ( Bapake Tama di Serambi Jumat Koran Merapi, 4 Mei 2012).

Selasa, 24 Januari 2012

SYIIRAN

PARA kiai jaman dulu, biasanya membuat syair ketika meringkaskan sebuah wejangan kepada santri-santrinya. Wejangan yang sarat nasehat luhur itu dirangkai dengan indah dan ditembangkan dalam sebuah lagu tertentu. Nasehat yang dikemas dalam sebuah lagu akan lebih mudah diingat dan sangat merasuk di dalam hati. Banyak sekali lagu (syiiran) yang konon syairnya dibuat oleh Wali Sanga. Kita masih ingat lagu Tamba Ati dan Ilir-ilir. Tembang-tembang tersebut tak lekang oleh kemajuan jaman.
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal sangat menggemari syiiran. Dalam sebuah syiiran gubahannya yang berjudul Syiir Tanpa Waton, cucu pendiri NU mbah KH Hasyim Asy’ari itu dengan leluasa mengkritik banyak kecenderungan orang-orang yang over acting dalam beragama. //Akeh kang apal Qur’an Haditse // seneng ngafirke marang liyane// kafire dewe dak digatekke// yen isih kotor ati akale 2x// (banyak yang hapal Quran dan Hadits// senang menuduh kafir terhadap orang lain// padahal kekafiran dirinya sendiri tidak diperhatikan// karena masih kotor hati akalnya).
Salah satu guru anak saya, mengajarkan pelajaran IPA di sekolah dasar melalui lagu anak-anak yang telah diubah syairnya. Syair lagu Kebunku menjadi : //lihat gigiku, ada tiga macam// gigi seriku, taring dan geraham// gigi seriku, memotong makanan// gigi taringku, merobek makanan// gigi gerahamku, mengunyah makanan// itulah gigiku, yang sangat menawan//. Ternyata, hasilnya luar biasa. Anak saya, apabila ingin mengulang pelajaran, cukup hanya mendendangkan lagu-lagu tersebut dan langsung hapal luar kepala.
Ulama-ulama klasik mengajarkan pelajaran-pelajaran yang sulit menggunakan lagu. Di kalangan para santri dikenal sebagai nadzom. Untuk menghafal kaidah-kaidah yang rumit dan banyak sekali disusun kitab dengan susunan seperti syair. Kita mengenal kitab kaidah bahasa arab yang berisi 1000 bait yang bernama Alfiyyah. Dengan kitab tersebut yang sengaja disusun dalam sebuah lagu maka kapanpun dan dimanapun santri dapat menghafalkan dengan gembira.
Lagu, tetembangan, syiiran, nadzoman dan sejenisnya, memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam menggugah hati dan pikiran manusia. Sayangnya, lagu-lagu jaman sekarang lebih banyak berisi hal-hal yang remeh temeh, pemujaan kekasih yang berlebihan dan kadang sangat tidak mendidik. Sudah saatnya para pencipta lagu, tetembangan maupun syiiran merenungkan apa yang dikatakan raja dangdut H Rhoma Irama: “Lagu adalah sebuah sarana yang harus bisa dipertanggungjawabkan baik itu kepada Tuhan maupun manusia”. Kegiatan apapun, tujuan utamanya hanyalah Allah. Gus Dur mengingatkan: //Kelawan Allah Kang Maha Suci// kudu rangkulan rina lan wengi// ditirakati diriyadhohi// dzikir lan suluk ja nganti lali 2x// uripe ayem rumangsa aman// dununge rasa tanda yen iman//.

Senin, 09 Januari 2012

SAATNYA BERUBAH

SETIAP pergantian tahun kita selalu gembira dan sedih sekaligus. Gembira, karena kita melihat anak-anak semakin besar dan semakin bisa bertanggung jawab. Kita juga bahagia karena masih diberi peluang menikmati hangatnya sinar matahari. Tetapi, dengan masuknya tahun 2012 ini kita juga sedih. Tambah satu tahun berarti diri kita semakin bertambah tua. Dan itu berarti kesempatan kita berbuat baik semakin berkurang. Penyakit-penyakit degeneratif akibat aging process (proses penuaan) tentu akan segera terjadi. Dan sekali lagi, berarti waktu yang tersedia untuk kita tidak terlalu banyak.

Sayang, pendakian-pendakian prestasi yang selama ini dilakukan, rasanya masih berputar-putar di situ saja. Apakah memang kita sebagai bangsa tak berbakat menjadi seorang climber (pendaki) sejati? Atau apakah nasibnya memang hanya menjadi seorang camper (orang berkemah untuk berhenti) yang stagnan lalu gulung tenda dan pulang?

Saya jadi teringat kisah “Kucing Ngurag”. Apabila seekor kucing sudah merasa tua dan merasa tak mampu lagi menangkap tikus maka kemudian pergi ke sebuah tempat untuk menyepi dan menunggu kematian. Tetapi kalau itu yang dilakukan, bukankah itu keputusasaan? Dan seperti kita tahu putus asa itu apapun alasannya tak boleh dilakukan.

Hidup itu adalah perubahan, begitu kata para filosof. Dan kalau ada yang abadi dalam hidup, maka dia dalah perubahan itu sendiri. Jadi, hidup itu ada dan hadir adalah untuk menciptakan perubahan. Pastinya perubahan kearah yang lebih baik. Tetapi kadang-kadang melakukan perubahan itu ibarat menguras lautan dengan tangan-tangan kecil. Hasilnya tak signifikan. Dan yang didapat hanyalah lelah dan penat. Tapi ingatlah, walaupun kita tak mampu mengubah arah angin, kita masih bisa mengubah arah layarnya untuk ke pantai cita.

Matahari terbit memang bukan akibat ayam berkokok. Meskipun lirih kokok ayam jago, tidak berarti matahari tidak akan terbit. Sang pusat tata surya itu punya hukum tersendiri, kapan harus terbit. Dan kelihatannya ayam jago itu tahu, bahwa tugasnya bukanlah menerbitkan matahari. Dia berkokok hanyalah memberitahu seluruh makhluk bahwa sebentar lagi hari akan segera pagi. Seperti itulah sunnatullah perubahan. Manusia berusaha dan Allah yang memastikannya.

Sebuah nasehat mengatakan: “Mengajilah dari alif dan menghitunglah dari satu, dan satu itu adalah dirimu sendiri”. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Mulailah dari dirimu sendiri (ibda’ binafsik)”. Nah, mulailah melakukan perubahan, sekecil apapun asalkan bermanfaat!