Kamis, 09 Mei 2013

Dimensi Psikologis Salat

         
           SEBAGIAN  umat Islam, menjalankan salat agak terpaksa. Salat dilaksanakan sekadar untuk nggugurke kewajiban (melunasi kewajiban). Akibatnya, sesuatu yang dilakukan dengan terpaksa pastilah hasilnya tidak optimal. Lain halnya dengan tidur. Kita melakukannya dengan senang hati. Begitu kita rebah di tempat tidur, tak lama kemudian kita terlelap. Dan ketika bangun, badan terasa fresh dan semangat seakan terbarukan. Padahal dalam adzan (khususnya di waktu subuh), kita diingatkan bahwa salat itu sebenarnya lebih baik daripada tidur (as-shalatu khairun min an-nauum). Kalau tidur saja manfaatnya begitu banyak, apalagi salat.
            Suatu ketika seorang Kiai bertanya kepada jamaahnya. “Tahukah kalian apakah perbedaaan salat Rasulullah SAW dengan kita?“ Para jamaah menjawab mengeleng-gelengkan kepala tanda tidak tahu. Sang Kiai sepuh itupun menjelaskan, “Rasulullah SAW dan para sahabatnya, ketika mereka salat itu mengerti artinya, sedangkan kita tidak.  Kita mengerjakan salat mirip robot atau burung beo. Kita lebih banyak belajar pada ujud lahiriah salat, dan  bukan pada aspek batiniyah (psikologis) dari salat. Akibatnya, ketika kita dikritik oleh Alquran yang sedang kita baca dalam salat,  kita tidak pernah bergetar hatinya karena tak pernah mengerti maknanya”.
            Kritikan Kiai diatas cukup pedas, tetapi ada terasa nuansa kebenaran. Untuk menjawabnya, Kiai kharismatis itu menyarankan, “Agar salat kita semakin baik, sekurang-kurangnya, marilah kita belajar Alquran beserta terjemahannya, syukur-syukur juga bahasanya. Bukankah Alquran dan terjemahannya banyak sekali jumlahnya. Ingatlah,  dalam tembang Tombo Ati disebutkan, maca Quran ngertekno sak maknane (baca Alquran, usahakan mengerti maknanya)”.
            Agaknya, nasehat Kiai diatas sangat baik  kita ikuti. Kita mulai dengan cara mencicil belajar arti bacaan surat Alfatihah, surat-surat pendek, rukuk, iktidal, sujud, iftirasy, tahiyat dan lainnya. Dengan begitu, semoga kita bisa menikmati salat dari dimensi psikologisnya. Sehingga  salat bisa menjadi ibadah yang nikmat, ditunggu-tunggu, ngangeni dan selalu ingin mengulanginya setiap saat.  
Ditulis oleh Ajib Setya Budi pada Kolom Serambi Jumat, Koran Merapi Pembaruan 12 April 2013.