Jumat, 29 Agustus 2014

IMAN KEBANGSAAN


Penegasan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beriman tampak dalam Pancasila maupun juga UUD 1945. Dalam pembukaan undang-undang dasar tersebut secara jelas disebutkan bahwa kemerdekaan yang terjadi  tanggal 17 Agustus 1945 adalah “Atas berkat rahmat Allah”. Memang benar,  para pejuang kemerdekaan telah berjuang mati-matian guna merebut kemerdekaan, akan tetapi semua itu dapat menjadi kenyataan karena ada tangan Allah yang turut serta mempermudah terciptanya kemerdekaan.

Semua orang tak mengira kalau negara Jepang  akhirnya menyerah setelah dua kota (Nagasaki dan Hiroshima) luluh lantak di bom atom  Amerika Serikat (14 Agustus 1945). Akibatnya, kekuatan negara matahari terbit itu di seluruh dunia pun melemah. Itulah laknat Allah untuk Jepang yang bagi bangsa Indonesia menjadi rahmat. Seiring melemahnya kekuatan Jepang, para pemuda Indonesia mendapat semangat baru untuk meminta Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Disertai dengan semangat bercampur rasa haru lahirlah negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kemerdekaan adalah sesuatu yang mahal. Hal ini bisa kita lihat sampai detik ini ada beberapa bangsa  yang masih berjuang untuk mendapatkannya. Lihatlah misalnya bangsa Palestina. Setelah sekian lama berjuang dengan darah dan air mata, ternyata bangsa penjaga Masjidil Aqsha ini belum juga meraih kemerdekaan secara penuh. Negara Israel yang disokong negara-negara besar di dunia, seolah membiarkan penjajahan ini terus berlangsung di tanah Kudus ini. Para pejuang Palestina yang gagah berani telah di cap sebagai teroris yang layak dibasmi. Perang Israel-Palestina pun berlangsung berkepanjangan.


Bagi bangsa Indonesia yang pernah merasakan pahit getirnya penjajahan, tentu bisa merasakan betapa dijajah itu sangat tidak enak. Kemana-mana selalu dibatasi dan diawasi. Benarlah sikap tegas Bung Karno  (1962), '' Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina,maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel''. 

Ucapan sang Proklamator itu merupakan pemahaman beliau tentang arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Itulah presiden yang benar-benar bisa memimpin dan berani berkata tidak untuk hal-hal yang memang harus ditolak. Pemimpin yang tak pernah minggrang-minggring  (takut dan ragu) terhadap tekanan negara manapun. Presiden yang menghayati dan mengamalkan iman kebangsaan.

KEBENARAN SEJATI


KH Endang Saifudin Anshari (alm), penulis buku Wawasan Islam, menyimpulkan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Sebagai makhluk yang suka bertanya demi meraih kebenaran, manusia menanyakan apa saja yang berkait dengan diri dan sekitarnya. Dari usahanya mencari jawaban tersebut, sekurang-kurangnya ada tiga institusi yang memiliki klaim kebenaran: ilmu pengetahuan, filsafat dan agama.
Ilmu pengetahuan yang mengandalkan penelitian (observasi) maupun percobaan dengan metode-metode tertentu telah merasa menemukan kebenaran. Sayangnya, kegiatan yang disebut ilmiah tersebut, semuanya mengandalkan panca indra manusia.  Padahal kita sadar, bahwa alat indra manusia itu memiliki keterbatasan dan kelemahan.

Dengan adanya ketidakpuasan terhadap ilmu pengetahuan, manusia mencoba beralih ke filsafat. Anak cucu Nabi Adam ini mulai menanyakan segala sesuatu secara radikal (mengakar)  tentang sarwa yang ada. Hasilnya, berbagai cabang filsafat pun bermunculan. Theologi (filsafat ketuhanan), etika (filsafat moral), estetika (filsafat keindahan), logika,  filsafat manusia, filsafat politik, filsafat ekonomi dan sebagainya merupakan contoh hasil kerja filsafat.

Ilmu pengetahuan maupun filsafat, keduanya adalah produk hasil berpikir manusia (ra’yun insaniyun). Oleh sebab itu, kebenaran ilmu dan filsafat -menurut Dr. Hidayat Nataatmadja penulis Krisis Global Ilmu Pengetahuan (alm), pastilah selalu  bersifat partial dan kondisional (terbatas, sepotong-sepotong dan sangat terikat ruang-waktu). Kebenaran yang dihasilkannya merupakan kebenaran relativ yang bersifat sementara.
Dalam wewarah orang Jawa kebenaran itu ada bermacam-macam. Benere dhewe (kebenaran diri sendiri), benere sing kawasa (kebenaran yang berkuasa, misalnya seperti raja atau presiden), benere wong akeh (kebenaran orang banyak, misalnya dalam konsep demokrasi) dan benere kang sajati (kebenaran yang sesungguhnya).

Alquran bukanlah karya manusia. Dia merupakan wahyu ilahi (wahyu ilahiyyun). Karena diyakini hadir dari Sang Pencipta alam semesta, maka  kebenaran kitab penerang manusia ini bersifat mutlak. Meragukan wahyu ilahi (Alquran) boleh-boleh saja. Bahkan Allah SWT menantang secara terbuka,  "Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Alquran yang Kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang semisal Alquran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar”. (QS. Albaqarah: 23).

Itulah kebenaran sejati yang tidak mulai dari rasa ragu. Allah SWT selaku  pencipta alam raya tentu tahu persis A,B,C,D-nya atau apapun yang ada di dalamnya. Dengan begitu, Alquran karena hadir dari Sang Pencipta dia benar dengan sendirinya (self evident truth). “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. (QS. Albaqarah : 2).

BERLATIH SABAR


Salah satu pelajaran penting yang bisa ditarik dari puasa ramadan adalah bahwa  dorongan rasa lapar, dahaga maupun hawa nafsu tidak boleh menguasai diri manusia. Hawa nafsu berupa berbagai keinginan itu boleh saja ada dalam diri manusia, tetapi tidak diperkenankan  menjadi penguasa sekaligus penggerak hidup manusia. Dorongan syahwat jasmaniah tersebut harus tunduk dan rela untuk diatur oleh sang penguasa sejati yaitu  Allah SWT. Itulah hawa nafsu yang dirahmati oleh Allah sebagaimana ucapan Nabi Yusuf AS, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali hawa nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(QS Yusuf : 53).

Orang yang berpuasa sebenarnya sedang berlatih kesabaran. Meskipun dorongan keinginan dan hawa nafsu menggebu-gebu, tetapi bila sedang berpuasa untuk menjalankan perintah Allah maka tetap harus menahan diri. Rasulullah SAW menegaskan bahwa  setengah dari kesabaran itu bisa dilatih dengan berpuasa (HR. Imam At-Tirmidzy).  Sikap menahan diri untuk tidak serta merta melampiaskan hawa nafsu  itulah bagian dari bersabar. Oleh karena itu dalam konsep sabar terkandung disiplin diri (self discipline)  dan  pengendalian diri (self restraint).

Sabar adalah sebuah resep yang luar biasa. Presiden Amerika serikat yang ke 6 John Quincy Adams (1825-1829) bahkan mengatakan, “Patience and perseverance have a magical effect before which difficulties disappear and obstacles vanish ( Sabar dan tekun memiliki efek magis karena kesulitan bisa hilang dan rintanganpun bisa teratasi)”. Kata-kata  mutiara ini mirip wewarah para leluhur kita, “Sopo sing morsal bakal kasingsal, sopo sing salah bakal seleh. Sopo sing temen bakal tinemu, sopo sing tekun bakal tekan. Sopo sing sabar bakal subur, sopo sing tlaten bakal panen. (Siapa yang nakal bakal musnah, siapa yang salah bakal terbukti. Siapa yang jujur bakal menang, siapa yang tekun bakal sampai. Siapa yang sabar bakal berhasil, siapa yang telaten bakal panen).


Nah, marilah kita terus berpuasa sebulan penuh. Semoga kita tetap sabar menjalaninya. “Sungguh Kami akan memberikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah: 155).