Minggu, 23 Maret 2014

ORA UMUK ORA NGAMUK

           

           
             MENANG dan kalah dalam dunia politik merupakan hal biasa. Oleh karena itulah- seperti  dalam dunia olah raga, sportifitas perlu dihayati dan dilaksanakan oleh seluruh calon  wakil rakyat  dan para pendukungnya. Kesepakatan siap menang dan siap kalah yang ditandatangani oleh para kontestan pemilu  di berbagai daerah sangatlah tepat untuk menciptakan kondisi tersebut. Kita sebagai rakyat menginginkan agar sebelum, ketika berlangsung dan sesudah Pemilu semuanya tetap berjalan lancar, aman dan damai.
           Ada kata-kata  indah yang marak di masa kampanye ini  dan dapat dipakai untuk  menjaga harmoni masyarakat.  “Menang ora umuk, kalah ora ngamuk” (menang tidak sombong, kalah tidak berbuat onar). Pada kata-kata mutiara ini, terkandung nasehat agar  bagi yang nanti menang, hendaklah bisa menjaga perasaan mereka yang kalah. Itulah prinsip yang diajarkan oleh leluhur kita, “Menang ora ngasorake” (menang tidaklah merendahkan). Hanya dengan menjaga sifat-sifat terpuji itu diharapkan yang kalah dapat menerima kekalahannya dengan ikhlas dan legawa. Dan bagi yang menang tentu tak perlu sombong serta lupa diri.
           Dalam Alquran Allah mengingatkan bahwa sesungguhnya sifat sombong adalah sifat yang kita tiru dari Iblis. Surat Al-A’raf: 11-13 merekam jelas bahwa yang menghalangi Iblis menolak perintah Allah untuk bersujud (hormat) kepada Nabi Adam a.s. adalah karena Iblis merasa lebih baik. Iblis beralasan,  karena dia tercipta dari api sedangkan Adam  hanya dari tanah, maka tentulah dia lebih baik. Sifat merasa lebih baik itulah yang perlu diwaspadai  agar tidak membakar jiwa kita sehingga menjadi pribadi yang suka menyombongkan diri.
            Bagi yang kalah, kiranya perlu menghayati  nasehat, “Sesungguhnya kalah dalam pemilu bukanlah akhir segala-galanya.” Kata-kata itu mudah diucapkan di bibir, tetapi pahit ketika mengalaminya. Bahkan akan lebih pahit lagi bila selama putaran kampanye calon wakil rakyat tersebut banyak mengeluarkan biaya dari kantong pribadinya. Tips agar tidak semakin kecewa,  psikolog dari Amerika Serikat  William Marston  memberi  arahan, "If there is any single factor that makes for success in living, it is the ability to draw dividends from defeat." (Jika ada satu faktor tunggal, yang menentukan sukses dalam hidup,  itu adalah kemampuan memetik hikmah dari kekalahan ).
            Dalam sebuah  kesempatan  Presiden RI SBY  mengingatkan, "Yang menang tidak perlu berpesta pora, namun boleh bersyukur, tapi harus siap menjalankan amanat yang dijalankan oleh rakyat. Yang kalah diterima, seperti pepatah bijak, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda”. Nah... selamat berkompetisi!

Minggu, 09 Maret 2014

BUKTI DAN JANJI


     DALAM masa kampanye pemilu legislatif kali ini, banyak kita temukan di pinggir jalan gambar-gambar calon anggota dewan dengan tulisan  yang isinya mengajak agar rakyat mau memilihnya. Gambar para calon yang pernah duduk di lembaga perwakilan rakyat (incumbent) biasanya dihiasi kata-kata: “Bukan janji, tetapi bukti”. Atau kadang sebaliknya, “Memberi bukti bukan janji”.

    Kata-kata tersebut dipakai untuk menyindir para calon pendatang baru. Mereka para pendatang baru itu, walaupun berjanji muluk-muluk toh  mereka belum pernah terbukti  terpilih sebagai anggota dewan. Tetapi para new comer tersebut tentu saja tak mau kalah, mereka membalas dengan kata yang tak kalah dahsyat: “Saatnya berubah!”. Tentu saja perang kata-kata ini menjadi semakin menarik bahkan kadang-kadang terasa sangat mengganggu pemandangan. Masih sedikit gambar dengan tulisan yang benar-benar menggambarkan visi dan misi mereka.

    Dalam sebuah kata mutiara disebutkan, “Akademisi boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong”. Sedangkan untuk para politisi dikatakan,”Politisi boleh  berbohong, tetapi tidak boleh salah”. Entah benar atau salah adagium itu secara etika, yang pasti tentu semuanya harus didedikasikan untuk kesejahteraan rakyat. Kebohongan politisi yang boleh tentulah bukan dalam konteks membuat janji ataupun menipu rakyat. Tetapi bohong dalam arti justru untuk melindungi rakyat. Seperti halnya bohong yang dilakukan dokter kepada pasiennya yang sedang sekarat. Dikhawatirkan bila pasien diberitahu apa adanya tentang penyakitnya malah akan menambah parah.
   Dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan orang-orang beriman agar mereka selalu menepati janji. "Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya!” (Al-Isra’: 34). Kemudian dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Empat hal kalau seseorang ada padanya, maka dia termasuk  orang munafik. Kalau berbicara dusta, jika berjanji tidak menepati, jika bersumpah khianat, jika bertikai melampaui batas. Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat tersebut, maka dia dihinggapi sifat munafik sampai  dia meninggalkannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

   Kita tahu bahwa baik calon incumbent maupun new comer semuanya pada saat ini sedang membuat janji. Hal ini terjadi karena pelaksanaan tugas-tugas mereka baru  akan dilakukan kelak pada periode 2014-2019 mendatang. Oleh karena itu, menepati janji bagi calon wakil rakyat adalah sebuah keniscayaan.
 
   Nah, marilah kita pilih calon wakil rakyat kita yang jujur (sidik), dapat dipercaya (amanah), komunikatif (tabligh), cerdas (fatonah), adil dan berani (syajaah) memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.        
   Semoga, tak lama lagi kita memiliki Indonesia yang semakin baik!