Alkisah, sekelompok
anak-anak muda sedang membincangkan masa depan mereka yang terasa semakin
suram. Malam pun tambah larut. Diskusi bertambah asyik dan panas. Masing-masing
berusaha mempertahankan argumentasinya. Suasana yang biasanya sepi di bumi
perkemahan itu, menjadi riuh dengan celoteh anak-anak muda yang sedang hobi
berdebat ini.
Tiba-tiba, tanpa
disangka-sangka terdengar bunyi:
”Thuuuuiiiiuuutttttt...dut...dut...brutt...!!!” dari arah yang tidak jelas.
Rupanya bunyi itu suara kentut. Persisnya kentut berirama seperti pertunjukan
pada acara Gong Show beberapa waktu lalu. Gelegar tawa pun meledak memecah
kesunyian malam. Diskusi pun mulai menggelinding ke arah topik lain.
”Hayo...siapa yang
buang angin ini?”.
“Ngaku aja sekarang,
dari pada malu nantinya !”
Beberapa orang mulai
mempermasalahkan kejadian alamiah itu.
Semua terdiam.
Masing-masing saling menduga dan mencoba menebak-nebak siapa gerangan yang
sedang membuat skandal tak terlihat ini. Angin berhembus. Bau tak sedap mulai
mulai menggerayangi dan meracuni hidung mereka.
”Akh...kurang ajar,
bau apa ini?”
”Wah ini pasti gas
ammoniak yang tercampur dengan semur jengkol...!”
”Bukan ini pasti
adonan telur busuk selama tiga bulan..! ”
Saling tuding dan
menyalahkan segera terjadi. Akhirnya, demi menjaga persatuan dan kesatuan
kelompok, dibentuklah panitia khusus (pansus) yang bertugas mencari dan
menemukan biang kentut yang menghebohkan itu. Untuk akurasi data, beberapa
anggota yang dianggap pakar dalam bidang ”ilmu kimia gas” segera dipilih.
”Kentut ini pasti
disebabkan semur jengkol dan pete. Hal ini tampak jelas dari struktur baunya.
Maka siapa saja yang mulutnya bau jengkol dan pete dialah yang bertanggung
jawab !” Pakar I mencoba mengurai masalah.
”Tetapi dia yang buang
angin itu tak bisa disalahkan. Kegiatan itu justru dilakukan demi menjaga
kesehatan agar tak berdampak sistemik hingga akan menyebabkan sakit beneran”.
Pakar II menyanggah dengan gayanya yang meyakinkan.
”Sebenarnya, kentut
bisa ditahan agar jangan keluar. Toh, nanti akan keluar lewat mekanisme lain
yang bukan kentut. Dengan begitu, tidak akan berbau dan merusak kebahagiaan
lingkungan kita”. Pakar III mencoba mencari solusi yang bisa diterima semua
pihak.
Dari saran-saran para
pakar itu, pro-kontra pun terjadi. Sebagian menganggap siapapun yang kentut
harus mempertanggung jawabkan secara moral. Bahkan sebagian ingin kalau perlu
dimakzulkan dari bumi perkemahan. Sementara yang lainnya menilai, keputusan
untuk berkentut ria itu adalah tindakan cerdas dan tepat agar masalah tersebut
tak berdampak sistemik.
Perdebatan mulai
memanas lagi. Ucapan sumpah serapah berhamburan. Kata-kata kotor seperti
bangsat dan sejenisnya digunakan. Diskusi dari para anak muda calon pemimpin bangsa
ini terus mengarah ke debat kusir. Sehingga akhirnya salah seorang mengusulkan
bahwa untuk mencari biang kerok pembuat kentut diputuskan dengan menyanyi.
Caranya? Sambil
menyanyi, diedarkanlah sebuah batu yang harus diberikan ke samping teman lainnya
secara bergilir. Siapa saja yang nanti memegang batu tersebut tepat setelah
lagu berakhir, maka dialah yang ditengarai sebagai yang paling bertanggung
jawab melakukan kentut itu.
Dari jauh sayup-sayup
terdengar lagu mereka yang menggunakan bahasa jawa.
ndang..ndang..tut...cendela uwo..uwo...
sapa bali ngentut...di tembak raja tuwa...
neng kali ngiseni kendhi...
jeruk purut wadhah kentut....!!!
Dan ternyata yang
mendapatkan batu terakhir adalah dia paling gigih mempertahankan pendapat
bahwa: ”Kentut bila tak dikeluarkan akan berdampak sistemik”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar