GALAU menjadi trending topik yang cukup populer
akhir-akhir ini. Anggara Jalu, keponakan saya yang duduk di kelas II SMU,
selalu mengatakan galau kalau kehabisan pulsa atau batere HP-nya low-bat. Pratama,
anak saya yang duduk di SD kelas VI akan teriak galau, kalau tiba-tiba listrik
mati. Maklum, baru sibuk mempersiapkan ujian nasional. Sementara itu, istri
saya juga akan ikut-ikutan bilang galau kalau internet di rumah lemot dan
sering putus nyambung. Ya, galau menjadi semacam ungkapan perasaan kejiwaan
yang campur aduk antara kecewa, marah, menyesal, geram, cemas, ragu maupun
situasi psikologis lainnya yang tak terkatakan.
Kalau kita amati kehidupan kita akhir-akhir ini,
masyarakat maupun para pemimpin kita kelihatannya memang sedang galau. Betapa
tidak. Setelah heboh koruptor ditangkap KPK dan demonstrasi besar-besaran
menolak kenaikan BBM, situasi galau makin menjadi-jadi. Kita menyaksikan para pelajar dan mahasiswa makin
gemar tawuran. Geng-geng motor di beberapa tempat mengamuk. Sementara itu Brimob
di Gorontalo baku tembak dengan beberapa oknum anggota Kostrad. Negri kita yang
semula dikenal orang-orangnya ramah dan santun, tiba-tiba bersumbu pendek sehingga
mudah meledak marah.
Kita baru saja memperingati hari Kartini, hari Pendidikan
Nasional dan segera memasuki hari Kebangkitan Nasional. Namun hasilnya ternyata hikmah peringatan hari-hari besar nasional tersebut
seolah tak membekas dan hanya berhenti pada upacara seremonial belaka.
Peringatan itu dilakukan hanyalah sebagai ritual rutin oleh para pegawai negri
dan anak-anak sekolah. Hasilnya tentu saja kering dan hampa.
Walaupun
demikian, hidup tetap harus terus berjalan. Bagi orang yang beriman kepada Allah SWT,
tak boleh ada kata putus asa. Andaikan jalan hidup kita ini sudah on the
track (shiratal mustaqim), pastilah Allah akan mengeluarkan
kita dari kegelapan menuju cahaya (minna
dzulumati ila nuuri) (QS. al-Baqarah : 257). Namun, jikalau kenyataannya kehidupan kita itu justru
sebaliknya, yakni dari cahaya menuju kegelapan (minna nuri ila dzulumat), kita
jadi khawatir, jangan-jangan selama ini kita berada pada jalan yang dimurkai (maghdhub) dan
sesat (dhallin). Oleh karena itu, segeralah kita bertaubat dan mulai perbaikilah diri
sendiri terus menerus.
Dalam keadaan yang serba
galau ini marilah kita renungkan lima obat hati (Tombo Ati) warisan
para Kiai dulu. “Obat hati itu
ada lima perkara. Yang pertama, baca Qur’an dan maknanya. Yang
kedua, sholat malam dirikanlah. Yang ketiga, berkumpullah dengan
orang sholeh. Yang keempat,
perbanyaklah berpuasa. Yang kelima, dzikir malam perpanjanglah. Salah satunya
siapa bisa menjalani. Moga-moga Gusti Allah mencukupi !” ( Bapake Tama di Serambi Jumat Koran Merapi, 4 Mei 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar