Debut Sang Kancil dipercaturan politik rimba raya cukup menimbulkan kekaguman. Bahkan reputasinya mampu menenggelamkan mitos kura-kura si pemilik akal bulus. Meskipun demikian, binatang yang tidak lebih besar dari anak kambing itu, bukanlah binatang cerdas. Tetapi lebih tepat kiranya bila dikatakan binatang licik: licin plus cerdik.
Sebagai pembual, Sang Kancil tidak pernah tanggung-tanggung. Untuk keselamatannya dalam pertarungan rimba raya, tokoh dongeng ini tanpa malu-malu mencatut nama ‘The Great Solomon King of Israel’. “Aku ini duta yang diutus untuk menjaga benda-benda pusaka milik Kanjeng Nabi Sulaiman”, katanya setiap kali terjepit.
Awal kisahnya, Sang Kancil pernah ditangkap Pak Tani, pemilik kebun mentimun yang sering dicuri Kancil. Tetapi berkat kelicikannya, pencuri mentimun itu berhasil lolos dari kurungan Pak Tani. Lolosnya Sang Kancil ini merupakan pengalamannya yang pertama dalam hal kibul-mengibul. Dan sungguh fantastis, yang ditipu kali ini adalah binatang yang terkenal cerdas: anjing.
Banyak yang mengakui, bahwa anjing adalah binatang pandai - sehingga ada anjing yang menjadi astronot maupun polisi - tapi dalam dongeng ini, anjing terpaksa mengakui keunggulan Sang Kancil. Anjing itu mau menggantikannya sebagai tahanan Pak Tani dengan satu janji: siapapun yang yang dikurung Pak Tani akan diambil menjadi menatunya. Anjing terpikat bujukan itu, Sang Kancil pun bebas.
Prestasi Sang Kancil berikutnya yang pantas diacungi jempol adalah ketika pelanduk itu mengecoh gajah. Dengan sukarela binatang gemuk ini mau masuk sumur, menggantikan Sang Kancil yang terperosok di dalamnya. Dasar gajah binatang goblok, ketika Sang Kancil mengatakan: “Lihatlah keatas Jah ..., langit sudah bergerak, sebentar lagi akan ambruk, dan dunia akan kiamat. Yang selamat hanyalah mereka yang ada di dalam sumur !” Binatang berhidung panjang itu mau saja menelan mentah-mentah bujukan pembual licin itu. Besar tubuh dan ototnya ternyata tidak mampu menolongnya agar terhindar dari tipuan Sang Kancil yang brilian.
Nasib apes berhadapan dengan Sang Kancil, ternyata juga dihadapi Raja Rimba: macan loreng. Carnivora yang memiliki gigi runcing dan kuku tajam serta power hebat itu, ternyata harus tertipu tiga kali.
Pertama, ketika dia ingin memin-jam ‘Sabuk Sulaiman’ yang dijaga Sang Kancil. Dengan trik yang jitu penipu ulung itu behasil mempraktekkan taktik ‘devide et impera’. Sehingga, meskipun akhirnya menang, raja rimba terpaksa babak belur bertarung dengan ular.
Kedua ketika raja rimba itu ingin mendengarkan suara merdu ‘Gong Sulaiman’ yang juga dijaga oleh Sang Kancil. Maka habislah badan raja hutan itu disengat lebah yang marah karena rumahnya terusik.
Dan yang terakhir, sungguh sial. Carnivora itu harus mati secara tragis. Pemakan daging itu tergencet lidahnya hingga putus ketika meminjam ‘Seruling Sulaiman’ yang dijaga Sang Kancil.
Kepiawaian puncak Sang Kancil dalam menerapkan jargon ‘menjadi politikus harus pandai menipu’, tampaknya semakin mantap. Hal ini dbuktikan ketika dia berhasil mempecundangi buaya, Si Raja Air.
Sebagai tukang tipu, buaya sangat terkenal. Sebutan ‘air mata buaya’ misalnya, merupakan bukti pengaku-an yang diberikan kepadanya karena keahliannya berpura-pura itu. Selain itu, teknik menyaru sehingga mirip kayu hanyut, adalah kepandaian lainnya yang juga dimiliki binatang melata tersebut.
Kalau anjing, gajah, harimau, buaya, semuanya menyerah, tidak adakah yang mampu mengalahkan Sang Kancil? Konon, ada satu jenis binatang yang mampu menga-lahkannya. Anehnya binatang ini mengalahkan Kancil bukan karena kelebihan kekuatan yang dimilikinya, melainkan karena kelemahannya. Bukan karena sangat cepat larinya, tetapi justru sangat lambat jalannya. Dialah Sang Keong yang berhasil menundukkan Sang Kancil dalam lomba adu balap.
Kancil yang terlalu percaya diri, menjadi sombong dan lupa. Kecerdikan dan kelicinan yang dimiliki Sang Kancil, ditaklukkan oleh keuletan dan kesabaran yang dimiliki Sang Keong. Sang Keong bukanlah korban: ‘wong bodho dadi dadi pangane wong pinter’ (orang bodoh makanan empuk bagi orang pandai). Sehingga binatang yang memiliki falsafah hidup: alon-alon waton kelakon dan gliyak gliyak waton kecandak itu, tidak bisa ‘dipinteri’, tidak bisa dikalahkan Sang Kancil.
Dalam pertarungan-pertarungan politik, agaknya keuletan, kesabaran dan kejelian juga diperlukan. Dan bukannya sekedar tipu-menipu, kibul-mengibul, ‘asu-asunan’. Malah, kalau politik akhirnya terjerumus ala politik Sang Kancil, pada akhirnya akan ‘al ghayyah tubarir bil washilah’ (tujuan menghalalkan cara). Di sini, Sang Kancil perlu belajar. Di atas langit masih ada langit. Di atas yang pintar masih ada yang lebih pintar lagi. Dan satu lagi pesan buat Sang Kancil: politik tidak harus berbau busuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar