BANJIR tidak selamanya dibenci. Buktinya, ketika sebuah bank beriklan akan memberikan banjir hadiah, para nasabahnya banyak yang menunggu-nunggu. Tetapi banjir yang melanda di beberapa kawasan di musim hujan seperti sekarang ini, sangat tak diharapkan. Betapa tidak, kerugian nyawa dan harta benda, menjadi pemandangan yang sering terjadi. Manusia pada umumnya menganggap banjir adalah musibah. Banjir adalah malapetaka yang harus dihindari.
Banjir sepenuhnya
tak bisa disalahkan. Air yang menjadi bahan utama banjir, secara alami selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke
tempat yang lebih rendah. Tak peduli apapun yang dihadapannya, akan disapu bila
tak menghindarinya. Air berbuat demikian karena tunduk kepada Allah
(sunnatullah). Dan sunnatullah itu selamanya tak akan berubah (Al-fath: 23).
Baginya, ketundukan kepada Allah beserta hukum-hukumnya adalah sesuatu yang
mutlak. Kepatuhan alam semesta termasuk air didalamnya, merupakan bagian dari cara
bertasbih mereka (Al-isra’: 44). Menghadapi situasi yang demikian, hendaknya
kita sebagai manusia harus pandai membacanya
(Al-‘alaq :1). Sehingga kita menjadi tahu apa saja yang sebelumnya tidak pernah
tahu (Al-‘alaq :5).
Dalam ilmu
perencanaan, sering dikatakan apabila kita gagal merencanakan sama saja dengan merencanakan kegagalan.
Sedia payung sebelum hujan, tempalah besi selagi panas dan juga “wal tandzur
nafsun ma qadamat lighad” (dan hendaknya setiap diri mau memperhatikan apakah
yang akan dilakukan besok), merupakan kata-kata bijak yang sudah sangat sering
kita dengar. Akan tetapi, kita sering mengabaikan persiapan-persiapan
menghadapi banjir ketika di musim kemarau. Dan akibatnya, kita selalu terkaget-kaget
saat musim hujan tiba. Kita tidak pernah belajar bahwa sebenarnya ada ruang dan
waktu yang cukup untuk menghadapai itu semua. Bukankah di negri ini - apalagi
di Jakarta, merupakan gudangnya orang-orang pintar.
Berbeda dengan gempa
yang tak bisa diramalkan, siklus banjir jauh lebih mudah dapat diketahui
kedatangannya. Anehnya, seperti yang kita lihat di berbagai mass media, penanganan banjir tampak mengalami kekacauan di sana-sini. Ini
membuktikan bahwa kita sering terlena dengan kesibukan kita sehari-hari. Kita
tetap memperlakukan sungai kita sebagai WC dan tong sampah terpanjang. Kita
juga terbiasa membuang sampah sembarangan. Dan sebagian orang yang merasa mampu, terus saja membangun gedung-gedung prestisius
tanpa peduli bahwa di kanan-kirinya bertebaran kampuh kampuh kumuh yang seolah tidak
tersentuh pembangunan. Lebih runyamnya lagi, bila musim kemarau tiba, selalu saja ada kebakaran. Dan di musim hujan terjadi kebanjiran.
Ah..., saya jadi
khawatir. Jangan-jangan ada pikiran jahat yang
menyelinap di hati kita, “Orang lain silahkan kebanjiran, kebakaran dan miskin. Yang penting saya tidak!”. Dan kalau
itu benar-benar terjadi, khususnya di kota-kota besar, maka bisa dikatakan
sebenarnya kiamat itu sudah terjadi walaupun dalam sekala yang lebih kecil. Na’udzu billahi min dzalik !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar