Bila kita tonton acara-acara di stasiun televisi dalam negri, saya kira hampir 90 prosen berisi acara hiburan. Kebanyakan dari acara hiburan itu semua pura-pura. Sekalipun itu acaranya live, tetapi acara-acara itu pura-pura. Dalam acara olah raga misalnya, manusia saling berebut si kulit bundar seolah-olah sedang berjuang demi pemulyaan derajat kemanusiaan. Padahal kita tahu, rebutan bola itu di tingkat rt-rw maupun piala dunia hakekatnya sama saja: bermain-main. Olah raga lainnya seperti balap mobil, balap motor, tinju, bulutangkis dan sejenisnya semua hakekatnya sebuah kepura-puraan yang dikemas bisnis. Itu bukan pertarungan perjuangan ala pejuang Gaza Strip di Palestina, tetapi hanyalah sebuah kehebohan yang sengaja dibikin demi menyembah kapitalisme.
Begitu juga sinetron, lawak, dance, pentas musik dan sejenisnya, nyaris lebih banyak menyita ruang dan waktu secara luar biasa dalam "peradaban" pertelevisian kita. Acara pentas musik di panggung-panggung terbuka dengan luapan penonton berjingkrak-jingkrak sampai lupa diri dan bahkan sering tawuran menjadi acara unggulan. Generasi muda kita telah disetting sedemikian rupa agar tak mampu berpikir dan berperasaan dengan jernih dan benar.
Memang ada acara yang sungguh-sungguh dan bukan pura-pura seperti Kick Andi, Tolong, Bedah Rumah, National Geographic, Laptop Si Unyil, Wisata Kuliner, Warta Berita, Dialog , Oase, Biography, Termehek-mehek dan sejenisnya tetapi kelihatannya prosentasenya sedikit. Padahal sebenarnya acara seperti itulah yang benar-benar dapat mencerahkan alam pikiran kita dalam arti yang sesungguhnya.
Acara yang bersifat kepura-puraan itu sangat cocok bagi anak-anak kita yang masih di bangku SD dan SMP. Acara seperti Jalan sesama, Dora the Explorer, Jejak Petualang, Panji dan sejenisnya sangat mendidik. Tetapi bagi yang sudah mengenyam SMA , Perguruan Tinggi maupun orang dewasa tentu acara "bohong-bohongan" sangat kurang bermanfaat. Acara semacam sinetron manusia bisa terbang dan berubah menjadi monster, dari tangannya keluar halilintar dan sebagainya itulah yang membodohi masyarakat. Mending kalau sinetron itu berisi sains fiksi yang futuristik sehingga mampu membangkitkan inspirasi untuk munculnya ilmuwan-ilmuwan di masa depan.
Begitu juga lagu pemujaan sang kekasih yang amat berlebihan seolah-olah tak menyisakan bahwa sebenarnya masih ada tema-tema lain yang lebih cerdas. Tetapi kenapa televisi kita dipenuhi lagu-lagu semodel "Belah duren" dan sejenisnya, padahal kita tahu toh akhirnya kekasih yang dipuja-puja itu akhirnya bercerai. Begitu juga lagu Pangeran Cinta , Lasykar Cinta dan sejenisnya ternyata dalam kehidupan aslinya sang Pangeran Cinta justru terjadi kemelut rumah tangga yang parah.
Begitulah kepura-puraan di jaman kita ini telah menjadi agama dan bisnis yang luar biasa. Akibatnya tentu sangat jelas muncul fenomena ala dukun cilik Ponari yang konon hampir tersambar halilintar dan terkena batu, tiba-tiba ketenarannya mampu mengalahkan para Dokter Spesialis manapun dalam mengobati masyarakat. Maka berduyun-duyunlah sebagian masyarakat kita mencari air yang disentuh Ponari maupun yang dipakai mandi Ponari untuk obat. Maka bila kita tak berubah, dari sini kita bisa berhitung, dua puluh tahun yang akan datang bangsa kita akan jadi bangsa terbelakang di banding bangsa-bangsa lain.
Nggak percaya...mari kita tunggu dan lihat....!!!
Konon Rabindranath Tagore pernah berkata:
"Peradaban kita itu adalah peradaban yang pura-pura bersungguh hati.."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar