Suara rakyat adalah suara rakyat. Suara tuhan adalah suara tuhan. Rakyat adalah rakyat dan bukan Tuhan. Pernyataan vox populli vox dei yang sering dikutip para politisi biasa diartikan sebagai suara rakyat adalah identik suara Tuhan agaknya belum tentu benar. Bagaimana kalau rakyatnya ingkar kepada tuhan?. Masihkah suaranya adalah suara tuhan ? Apakah bukan suara syetan?.
Suara rakyat yang memiliki Iman barangkali itulah yang memiliki suara tuhan. Karena bukankah tuhan itu selalu berpihak kepada mereka yang beriman?. Selain karena iman, suara tuhan seringkali juga berpihak kepada mereka yang tertindas (mustad'afin). Oleh karena itulah rahasia mengapa para nabi/ rasul selalu berpihak pada mereka yang lemah dan tertindas. Sehingga, dengan dikawal oleh para Nabi dan Rasul maka rakyat benar-benar dibimbing oleh hikmah kebenaran tuhan. Rakyat seperti inilah barangkali yang layak suaranya benar-benar suara Tuhan.
Dalam Pancasila mungkin istilah suara rakyat adalah suara Tuhan itu tertuang dalam kesadaran sila ke empat: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaaan dalam permusyawaratan / perwakilan". Hikmah seperti kita ketahui, terdapat dalam intisari agama-agama. Khusus untuk umat Islam, hikmah itu tidak lain adalah ajaran Allah. Sebab, ajaran Allah yang diajarkan kepada (nabi) Luqman al Hakim adalah al Hikmah (lihat al Qur'an dalam surat Luqman).
Oleh karena itu yang tepat bukan demokrasi ataupun theokrasi dalam penjabaran Pancasila tetapi theodemokrasi, yaitu sebuah demokrasi kerakyatan yang selalu dibimbing oleh hikmah (ajaran tuhan) dalam setiap peraturan yang dihasilkannya. Konon istilah tersebut dperkenalkan oleh buya Dr. M Natsir almarhum.
Agaknya bangsa Indonesia tidak perlu membisu, menuli dan membutakan diri apalagi phobia terhadap ajaran tuhan (termasuk misalnya al Qur'an), agar setiap produk hukum yang dihasilkannya tidak terjerumus kepada hal yang tidak benar. Seperti kata almarhum Dr. Nurcholis Majid, "Pancasila itu sebuah ideologi yang terbuka", yang tentu saja selalu membuka diri terhadap segala kebaikan. Apalagi kalau kebaikan itu bernama al Qur'an. Why not ?
1 komentar:
PERADILAN INDONESIA: PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap Rp.5,4 jt. (menggunakan uang klaim asuransi milik konsumen) di Polda Jateng
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat,sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Maka benarlah statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK). Ini adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen Indonesia yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini .
Masalahnya, masyarakat Indonesia lebih memilih "nrimo" menghadapi kenyataan peradilan seperti ini. Sikap inilah yang membuat para oknum 'hakim bejat' Indonesia memanfaatkan kesempatan memperkosa hukum negara ini.
Sampai kapan kondisi seperti ini akan berlangsung??
David Pangemanan
HP. (0274)9345675
Posting Komentar