SEBAGIAN umat Islam, menjalankan salat agak terpaksa. Salat
dilaksanakan sekadar untuk nggugurke kewajiban (melunasi kewajiban). Akibatnya,
sesuatu yang dilakukan dengan terpaksa pastilah hasilnya tidak optimal. Lain
halnya dengan tidur. Kita melakukannya dengan senang hati. Begitu kita rebah di
tempat tidur, tak lama kemudian kita terlelap. Dan ketika bangun, badan terasa
fresh dan semangat seakan terbarukan. Padahal dalam adzan (khususnya di waktu
subuh), kita diingatkan bahwa salat itu sebenarnya lebih baik daripada tidur
(as-shalatu khairun min an-nauum). Kalau tidur saja manfaatnya begitu banyak,
apalagi salat.
Suatu ketika seorang Kiai bertanya
kepada jamaahnya. “Tahukah kalian apakah perbedaaan salat Rasulullah SAW dengan
kita?“ Para jamaah menjawab mengeleng-gelengkan kepala tanda tidak tahu. Sang
Kiai sepuh itupun menjelaskan, “Rasulullah SAW dan para sahabatnya, ketika
mereka salat itu mengerti artinya, sedangkan kita tidak. Kita mengerjakan salat mirip robot atau burung
beo. Kita lebih banyak belajar pada ujud lahiriah salat, dan bukan pada aspek batiniyah (psikologis) dari
salat. Akibatnya, ketika kita dikritik oleh Alquran yang sedang kita baca dalam
salat, kita tidak pernah bergetar
hatinya karena tak pernah mengerti maknanya”.
Kritikan Kiai diatas cukup pedas,
tetapi ada terasa nuansa kebenaran. Untuk menjawabnya, Kiai kharismatis itu menyarankan,
“Agar salat kita semakin baik, sekurang-kurangnya, marilah kita belajar Alquran
beserta terjemahannya, syukur-syukur juga bahasanya. Bukankah Alquran dan
terjemahannya banyak sekali jumlahnya. Ingatlah, dalam tembang Tombo Ati disebutkan, maca Quran
ngertekno sak maknane (baca Alquran, usahakan mengerti maknanya)”.
Agaknya, nasehat Kiai diatas sangat
baik kita ikuti. Kita mulai dengan cara
mencicil belajar arti bacaan surat Alfatihah, surat-surat pendek, rukuk, iktidal,
sujud, iftirasy, tahiyat dan lainnya. Dengan begitu, semoga kita bisa menikmati
salat dari dimensi psikologisnya. Sehingga salat bisa menjadi ibadah yang nikmat, ditunggu-tunggu,
ngangeni dan selalu ingin mengulanginya setiap saat.
Ditulis oleh Ajib Setya Budi pada Kolom Serambi Jumat, Koran Merapi Pembaruan 12 April 2013.
2 komentar:
Setelah di Bali aku tau APA inti meditasi itu, ternyata inti Dari pemurnian jiwa adalah keterhubungan dengan Tuhan Dan pemaafan-meminta maaf Dan memaafkan. Dan itu semua terkandung dalam shalat. SeteLah tahu, aku jadi ngerti, be tapa shalat itu adalah sebuah meditasi tingkat tinggi. Bila bisa melakukan dgn be nar, hasilnya pastilah luarbiasa.
Coba baca buku Abu Sangkan Pelatihan Shalat Khusyuk. Kamu akan mengerti lebih dalam. Atau googling aja Abu Sangkan. Nuwun.
Posting Komentar