KALAU ada sebuah kota, setiap
warganya enggan ke luar rumah dan malah memilih berdiam diri di rumah
masing-masing, maka kota itu merupakan kota yang sedang sakit. Itulah pandangan
Ridwan Kamil Wali kota Bandung. Dari pandangan tersebut bisa diteruskan lebih
luas lagi. Kalau ada sebuah negara, setiap warganya sudah tidak percaya lagi kepada para
pemimpinnya, maka negara itu bukan
sekedar sakit melainkan sedang menuju kehancuran.
Kasus korupsi di BLBI, Century,
Hambalang, pengadaan simulator SIM, Mahkamah Konstitusi dan semacamnya,
benar-benar mengikis habis kepercayaan rakyat kepada para pemimpinnya. Sungguh,
rakyat hanya ingin sekali melihat negara
ini segera menjadi adil, makmur, aman, tentram dan bahagia. Tetapi rupanya
rakyat masih harus bermimpi lebih lama lagi. Uang rakyat yang jumlahnya trilyunan
lenyap begitu saja dengan mudahnya dan tak ada-ada tanda-tanda akan kembali. Negara yang seperti ini tentu
saja bukanlah negara yang bahagia.
Legatum Institut, sebuah lembaga yang cukup kredibel
berlokasi di London, belum lama ini meluncurkan laporannya yaitu Legatum Prosperity Index 2013. Dari
laporan indeks kebahagiaan suatu negara tersebut, ternyata Republik Indonesia
berada pada posisi 69. Posisi ini jauh lebih rendah dibanding negara-negara
tetangga kita seperti Malaysia (40), Sri Lanka (60), Vietnam (62) dan Filipina
(66). Dalam kondisi yang seperti ini, artinya rakyat di negara tetangga kita
jauh lebih berbahagia dibanding rakyat di negara kita.
Bagaimanakah menciptakan rakyat dan negara bahagia? Allah
menasehati kita agar lebih banyak bersyukur. "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu kufur, maka pasti azab-Ku sangat berat."(QS Ibrahim: 14).
Dari
ayat di atas jelas bahwa bersyukur adalah lawan dari kufur. Bersyukur sama
dengan berislam secara utuh (kaffah).Yusuf
Estes (dai internasional) menjelaskan, dalam
istilah Islam sudah tercakup ketaatan (obedient),
ketulusan (sincerity), ketundukan (submission), penyerahan diri (surrender) dan
perdamaian (peace). Kelima hal tersebut
merupakan aspek terpenting dari bersyukur. Sebuah kata mutiara mengatakan, “Bukanlah
bahagia dahulu kemudian bersyukur, melainkan bersyukurlah dahulu maka bahagia akan mengikutinya”.
Mudah-mudahan dengan kembali menghayati dan mengamalkan
Islam (bersyukur) secara sungguh-sungguh, rakyat menjadi bahagia dan akhirnya
tercipta negara yang bahagia pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar