Selasa, 24 Januari 2012

SYIIRAN

PARA kiai jaman dulu, biasanya membuat syair ketika meringkaskan sebuah wejangan kepada santri-santrinya. Wejangan yang sarat nasehat luhur itu dirangkai dengan indah dan ditembangkan dalam sebuah lagu tertentu. Nasehat yang dikemas dalam sebuah lagu akan lebih mudah diingat dan sangat merasuk di dalam hati. Banyak sekali lagu (syiiran) yang konon syairnya dibuat oleh Wali Sanga. Kita masih ingat lagu Tamba Ati dan Ilir-ilir. Tembang-tembang tersebut tak lekang oleh kemajuan jaman.
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal sangat menggemari syiiran. Dalam sebuah syiiran gubahannya yang berjudul Syiir Tanpa Waton, cucu pendiri NU mbah KH Hasyim Asy’ari itu dengan leluasa mengkritik banyak kecenderungan orang-orang yang over acting dalam beragama. //Akeh kang apal Qur’an Haditse // seneng ngafirke marang liyane// kafire dewe dak digatekke// yen isih kotor ati akale 2x// (banyak yang hapal Quran dan Hadits// senang menuduh kafir terhadap orang lain// padahal kekafiran dirinya sendiri tidak diperhatikan// karena masih kotor hati akalnya).
Salah satu guru anak saya, mengajarkan pelajaran IPA di sekolah dasar melalui lagu anak-anak yang telah diubah syairnya. Syair lagu Kebunku menjadi : //lihat gigiku, ada tiga macam// gigi seriku, taring dan geraham// gigi seriku, memotong makanan// gigi taringku, merobek makanan// gigi gerahamku, mengunyah makanan// itulah gigiku, yang sangat menawan//. Ternyata, hasilnya luar biasa. Anak saya, apabila ingin mengulang pelajaran, cukup hanya mendendangkan lagu-lagu tersebut dan langsung hapal luar kepala.
Ulama-ulama klasik mengajarkan pelajaran-pelajaran yang sulit menggunakan lagu. Di kalangan para santri dikenal sebagai nadzom. Untuk menghafal kaidah-kaidah yang rumit dan banyak sekali disusun kitab dengan susunan seperti syair. Kita mengenal kitab kaidah bahasa arab yang berisi 1000 bait yang bernama Alfiyyah. Dengan kitab tersebut yang sengaja disusun dalam sebuah lagu maka kapanpun dan dimanapun santri dapat menghafalkan dengan gembira.
Lagu, tetembangan, syiiran, nadzoman dan sejenisnya, memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam menggugah hati dan pikiran manusia. Sayangnya, lagu-lagu jaman sekarang lebih banyak berisi hal-hal yang remeh temeh, pemujaan kekasih yang berlebihan dan kadang sangat tidak mendidik. Sudah saatnya para pencipta lagu, tetembangan maupun syiiran merenungkan apa yang dikatakan raja dangdut H Rhoma Irama: “Lagu adalah sebuah sarana yang harus bisa dipertanggungjawabkan baik itu kepada Tuhan maupun manusia”. Kegiatan apapun, tujuan utamanya hanyalah Allah. Gus Dur mengingatkan: //Kelawan Allah Kang Maha Suci// kudu rangkulan rina lan wengi// ditirakati diriyadhohi// dzikir lan suluk ja nganti lali 2x// uripe ayem rumangsa aman// dununge rasa tanda yen iman//.

Senin, 09 Januari 2012

SAATNYA BERUBAH

SETIAP pergantian tahun kita selalu gembira dan sedih sekaligus. Gembira, karena kita melihat anak-anak semakin besar dan semakin bisa bertanggung jawab. Kita juga bahagia karena masih diberi peluang menikmati hangatnya sinar matahari. Tetapi, dengan masuknya tahun 2012 ini kita juga sedih. Tambah satu tahun berarti diri kita semakin bertambah tua. Dan itu berarti kesempatan kita berbuat baik semakin berkurang. Penyakit-penyakit degeneratif akibat aging process (proses penuaan) tentu akan segera terjadi. Dan sekali lagi, berarti waktu yang tersedia untuk kita tidak terlalu banyak.

Sayang, pendakian-pendakian prestasi yang selama ini dilakukan, rasanya masih berputar-putar di situ saja. Apakah memang kita sebagai bangsa tak berbakat menjadi seorang climber (pendaki) sejati? Atau apakah nasibnya memang hanya menjadi seorang camper (orang berkemah untuk berhenti) yang stagnan lalu gulung tenda dan pulang?

Saya jadi teringat kisah “Kucing Ngurag”. Apabila seekor kucing sudah merasa tua dan merasa tak mampu lagi menangkap tikus maka kemudian pergi ke sebuah tempat untuk menyepi dan menunggu kematian. Tetapi kalau itu yang dilakukan, bukankah itu keputusasaan? Dan seperti kita tahu putus asa itu apapun alasannya tak boleh dilakukan.

Hidup itu adalah perubahan, begitu kata para filosof. Dan kalau ada yang abadi dalam hidup, maka dia dalah perubahan itu sendiri. Jadi, hidup itu ada dan hadir adalah untuk menciptakan perubahan. Pastinya perubahan kearah yang lebih baik. Tetapi kadang-kadang melakukan perubahan itu ibarat menguras lautan dengan tangan-tangan kecil. Hasilnya tak signifikan. Dan yang didapat hanyalah lelah dan penat. Tapi ingatlah, walaupun kita tak mampu mengubah arah angin, kita masih bisa mengubah arah layarnya untuk ke pantai cita.

Matahari terbit memang bukan akibat ayam berkokok. Meskipun lirih kokok ayam jago, tidak berarti matahari tidak akan terbit. Sang pusat tata surya itu punya hukum tersendiri, kapan harus terbit. Dan kelihatannya ayam jago itu tahu, bahwa tugasnya bukanlah menerbitkan matahari. Dia berkokok hanyalah memberitahu seluruh makhluk bahwa sebentar lagi hari akan segera pagi. Seperti itulah sunnatullah perubahan. Manusia berusaha dan Allah yang memastikannya.

Sebuah nasehat mengatakan: “Mengajilah dari alif dan menghitunglah dari satu, dan satu itu adalah dirimu sendiri”. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Mulailah dari dirimu sendiri (ibda’ binafsik)”. Nah, mulailah melakukan perubahan, sekecil apapun asalkan bermanfaat!