Minggu, 16 Desember 2012

BERANI JUJUR


                  
                   TEMA yang diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Internasional  yang jatuh pada tanggal 9 Desember 2012  adalah  “Berani Jujur Hebat”. Suatu tema yang  diharapkan akan dapat memperbaiki bangsa ini dari keterpurukan yang berkepanjangan.
                Jujur merupakan sesuatu yang mahal di negri ini. Bahkan banyak kalangan berpendapat, untuk berkata dan bertindak secara jujur diperlukan suatu keberanian ekstra. Dalam suatu komunitas yang dipenuhi ketidakjujuran, kejujuran yang sejatinya merupakan akhlak  mulia ini sering dianggap aneh. Dalam situasi seperti itu, orang jujur bisa hancur lantaran dikeroyok oleh mereka yang tidak jujur. Dalam berbagai kasus tindak pidana korupsi, seringkali kita melihat dengan jelas orang jujur justru dijadikan kambing hitam. Akibatnya, para tersangka enggan  berkata jujur karena khawatir nasibnya  yang akan semakin tidak jelas.
                Didunia politik, ketidakjujuran  kelihatannya sudah jamak dilakukan.  Ini bisa terjadi barangkali karena adanya pendapat bahwa politik sejatinya adalah perang (Karl von Clausewitz, 1780-1831). Dengan alasan seperti itu, berpolitik adalah berperang walaupun dalam bentuk yang lebih kecil. Dalam berperang,  tidak jujur alias berbohong adalah bagian  dari taktik dan strategi memenangkan perang. Dari sinilah tolak tarik antara politik sebagai panglima dan supremasi hukum diuji. Seruan berani jujur sesungguhnya ajakan agar rakyat bangsa ini kembali menjadikan negara ini negara hukum (rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat).
                Dalam konsep Emotional Spiritual Quotient (ESQ), orang boleh saja tidak pandai tetapi harus jujur. Keadaan itu akan lebih baik dari pada  seseorang itu pandai tetapi tidak jujur. Orang pandai yang tidak jujur akan menimbulkan malapetaka yang lebih banyak dibandingkan dengan orang bodoh yang tidak jujur. Dengan logika seperti itu, para penegak hukum mestilah diisi orang-orang yang jujur. Penegak hukum yang tidak jujur akan menimbulkan kerusakan yang lebih dahsyat dibandingkan orang biasa. Polisi, hakim, jaksa, pengacara maupun petugas KPK diharapkan seperti sapu yang bersih. Sebelum membersihkan berbagai kotoran dan sampah mestilah mereka harus bersih terlebih dahulu. Prasyarat untuk dapat bersih salah satunya adalah kejujuran.
                Untuk itu marilah kita renungkan firman Allah SWT, "Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan (ketidakjujuran), hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta." (QS An-Nahl [16]: 105). Nah, marilah dengan kesempatan yang masih ada  ini kita bangun bangsa ini dengan mulai jujur terhadap diri sendiri, orang lain dan Allah SWT. Dengan modal kejujuran semoga negri Indonesia akan lebih baik. Amin.

Minggu, 02 Desember 2012

RUMAH HIKMAH


                BEBERAPA waktu yang lalu, masjid di tempat saya kerawuhan ustadz Muhaimin Iqbal. Ustadz lulusan IPB Bogor ini memberikan ceramah perihal perlunya umat Islam memiliki tiga pilar utama yaitu Baitullah (masjid), Baitul Maal (lembaga keuangan Islam) dan Baitul Hikmah (lembaga ilmu pengetahuan).
                Dalam pemikiran ustadz yang juga dikenal sebagai pakar asuransi Islam ini, Baitul Hikmah tidaklah sama dengan majlis-majlis taklim yang sudah ada selama ini. Bila majlis taklim lebih sering membicarakan hal-hal yang berkait ibadah mahdhah (seperti wudhu, shalat, puasa dll), lembaga ini fokus perhatiannya berorientasi memecahkan masalah keumatan (problem solving oriented).
                Ustadz yang juga Direktur Utama Gerai Dinar ini menjelaskan bahwa Baitul Hikmah  merupakan  the House of Wisdom, yakni  tempat yang  akan menghadirkan budaya diskusi-diskusi ilmu lintas disiplin, yang menjadi dasar amal nyata dalam bentuk solusi-solusi riil atas kebutuhan atau problem yang dihadapi oleh umat Islam. Selanjutnya, Baitul Hikmah agar lebih familiar disebut beliau sebagai Rumah Hikmah.
                Gagasan Rumah Hikmah ini diinspirasi dari Baitul Hikmah  yang didirikan pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M). Lembaga yang kegiatannya sering dikuti oleh Sang Khalifah ini merupakan  pusat ilmu pengetahuan dan perpustakaan paling hebat pada jamannya. Di lembaga ini  para sarjana berkumpul untuk melakukan penerjemahan berbagai disiplin ilmu seperti  bidang astrologi, matematik, pertanian, obat-obatan dan falsafah serta diskusi-diskusi ilmiah.
                Gagasan baru yang sebenarnya sudah lama ada ini,  kiranya  perlu digelorakan kembali di lingkungan masjid-masjid kita agar masjid benar-benar menjadi sentral kegiatan umat Islam dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada.  Masjid yang dulu terkesan angker, dekat kuburan dan sering dipakai untuk menyimpan payung dan keranda jenazah, berubah menjadi masjid yang ramah dan merupakan bagian solusi problem masyarakat. Sehingga, insya Allah tak lama lagi kita akan melihat di sekitar masjid akan ada  observatorium, lembaga pendidikan,  digital library, hotspot area, peralatan multi media, klinik kesehatan, ambulan, laboratorium bahasa, terjemah Alquran dan Alhadits dalam berbagai bahasa,  koperasi simpan pinjam tanpa riba, toko serba ada dan lain sebagainya.
                Akhirnya dengan gagasan Rumah Hikmah ini, seolah kita diingatkan kembali seruan Rasulullah, “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah” (HR. Tirmidzi).
(Serambi Jumat, Koran Merapi Pembaruan 30 Nopember 2012 oleh Ajib Setya Budi).