Kamis, 28 Januari 2010

KENTUT SISTEMIK





Alkisah, sekelompok anak-anak muda sedang membincangkan masa depan mereka yang terasa semakin suram. Malam pun tambah larut. Diskusi bertambah asyik dan panas. Masing-masing berusaha mempertahankan argumentasinya. Suasana yang biasanya sepi di bumi perkemahan itu, menjadi riuh dengan celoteh anak-anak muda yang sedang hobi berdebat ini.

Tiba-tiba, tanpa disangka-sangka terdengar bunyi: ”Thuuuuiiiiuuutttttt...dut...dut...brutt...!!!” dari arah yang tidak jelas. Rupanya bunyi itu suara kentut. Persisnya kentut berirama seperti pertunjukan pada acara Gong Show beberapa waktu lalu. Gelegar tawa pun meledak memecah kesunyian malam. Diskusi pun mulai menggelinding ke arah topik lain.
”Hayo...siapa yang buang angin ini?”.
“Ngaku aja sekarang, dari pada malu nantinya !”
Beberapa orang mulai mempermasalahkan kejadian alamiah itu.

Semua terdiam. Masing-masing saling menduga dan mencoba menebak-nebak siapa gerangan yang sedang membuat skandal tak terlihat ini. Angin berhembus. Bau tak sedap mulai mulai menggerayangi dan meracuni hidung mereka.
”Akh...kurang ajar, bau apa ini?”
”Wah ini pasti gas ammoniak yang tercampur dengan semur jengkol...!”
”Bukan ini pasti adonan telur busuk selama tiga bulan..! ”

Saling tuding dan menyalahkan segera terjadi. Akhirnya, demi menjaga persatuan dan kesatuan kelompok, dibentuklah panitia khusus (pansus) yang bertugas mencari dan menemukan biang kentut yang menghebohkan itu. Untuk akurasi data, beberapa anggota yang dianggap pakar dalam bidang ”ilmu kimia gas” segera dipilih.

”Kentut ini pasti disebabkan semur jengkol dan pete. Hal ini tampak jelas dari struktur baunya. Maka siapa saja yang mulutnya bau jengkol dan pete dialah yang bertanggung jawab !” Pakar I mencoba mengurai masalah.

”Tetapi dia yang buang angin itu tak bisa disalahkan. Kegiatan itu justru dilakukan demi menjaga kesehatan agar tak berdampak sistemik hingga akan menyebabkan sakit beneran”. Pakar II menyanggah dengan gayanya yang meyakinkan.

”Sebenarnya, kentut bisa ditahan agar jangan keluar. Toh, nanti akan keluar lewat mekanisme lain yang bukan kentut. Dengan begitu, tidak akan berbau dan merusak kebahagiaan lingkungan kita”. Pakar III mencoba mencari solusi yang bisa diterima semua pihak.

Dari saran-saran para pakar itu, pro-kontra pun terjadi. Sebagian menganggap siapapun yang kentut harus mempertanggung jawabkan secara moral. Bahkan sebagian ingin kalau perlu dimakzulkan dari bumi perkemahan. Sementara yang lainnya menilai, keputusan untuk berkentut ria itu adalah tindakan cerdas dan tepat agar masalah tersebut tak berdampak sistemik.

Perdebatan mulai memanas lagi. Ucapan sumpah serapah berhamburan. Kata-kata kotor seperti bangsat dan sejenisnya digunakan. Diskusi dari para anak muda calon pemimpin bangsa ini terus mengarah ke debat kusir. Sehingga akhirnya salah seorang mengusulkan bahwa untuk mencari biang kerok pembuat kentut diputuskan dengan menyanyi.

Caranya? Sambil menyanyi, diedarkanlah sebuah batu yang harus diberikan ke samping teman lainnya secara bergilir. Siapa saja yang nanti memegang batu tersebut tepat setelah lagu berakhir, maka dialah yang ditengarai sebagai yang paling bertanggung jawab melakukan kentut itu.

Dari jauh sayup-sayup terdengar lagu mereka yang menggunakan bahasa jawa.

ndang..ndang..tut...cendela uwo..uwo...
sapa bali ngentut...di tembak raja tuwa...
neng kali ngiseni kendhi...
jeruk purut wadhah kentut....!!!

Dan ternyata yang mendapatkan batu terakhir adalah dia paling gigih mempertahankan pendapat bahwa: ”Kentut bila tak dikeluarkan akan berdampak sistemik”.

Tidak ada komentar: