Senin, 11 Januari 2010

SILA-SILA YANG MENGHANCURKAN

Kita telah tahu, Panca Sila (PS) adalah perjanjian luhur bangsa Indonesia untuk hidup bersama menjalin kehidupan berbangsa dan bernegara. PS menurut Cak Nur (Dr. Nurcholish Majid), merupakan common platform yang menjadikan negri zamrud khtulistiwa ini tetap bersatu. Maka tak berlebihan kiranya, jika lima prinsip dasar negara ini terpahat kuat dalam bentuk lambang perisai di leher burung Garuda. Dengan perlindungan perisai PS, bangsa Indonesia mengarungi angkasa pergaulan internasional antar bangsa dengan aman dan elegan tentunya.

Namun kenyataannya, pelaksanaan sila-sila PS bak "jauh panggang dari api". Dari hari ke hari, melalui berbagai media massa kita suka atau tidak suka disuguhi kenyataan yang sangat memilukan sekaligus memalukan.

Dalam berbagai masalah seperti politik,ekonomi,sosial dan budaya 'uang' bisa menjadi segala-galanya. Pemilihan pemimpin sejak dari Presiden hingga Kepala Desa, uang sudah menjadi 'penentu' menang atau kalahnya seorang kandidat. Rekruitmen pegawai negri, POLRI, TNI walaupun kadang sembunyi-sembunyi, uang menjadi faktor pelicin yang tidak bisa diabaikan. Akibatnya, masyarakat kita cepat atau lambat sangat mendewa-dewakan uang.

Seiring dengan semakin sulitnya mencari nafkah (baca: uang), kriminalitas merajalela. Mulai dari kemunculan fenomena pembunuh bayaran, penculikan bayi hingga mutilasi dan sebagainya sudah menjadi kenyataan di republik yang konon sangat santun dan agamis ini. Manusia Indonesia hampir-hampir telah menjadi binatang buas bagi sesamanya.

Sementara itu, benih-benih perpecahan juga mulai bermunculan. Demo yang cenderung menjadi amuk masa menjadi sebuah cara yang dianggap efektif menekan pihak-pihak yang ingin di tekan. Sejak mulai dari tawur antar suporter sepak bola, tawur antar pelajar dan mahasiswa hingga di panggung-panggung politik. Umpatan, sumpah serapah, tonjokan dan saling mengancam, dianggap sebagai bagian dari dinamika demokrasi ataupun ongkos demokrasi.

Para wakil rakyat dalam bermusyawarah telah mementingkan egonya masing-masing, seolah lupa kepada misi awalnya untuk apa dia duduk sebagai anggota dewan. Wakil rakyat telah menjadi wakil bagi kepentingan dirinya sendiri, sehingga masalah-masalah besar- kalau tak di blow up media massa, tidak akan menjadi agenda pembahasan. Debat yang cenderung menjadi debat kusir bukanlah bagian dari upaya keras memecahkan persoalan-persoalan bangsa, melainkan hanya atraksi unjuk kebolehan untuk menunjukkan pada konstituen bahwa mereka telah bekerja. Begitu juga seminar-seminar di berbagai perguruan tinggi. Kegiatan itu bukanlah bagian dari kontemplasi para pejuang-pemikir, melainkan hanya sekedar intellectual exercises (senam otak) untuk menunjukkan kelas kepakaran mereka. Kegiatan itu semua mereka selenggarakan, karena dengan itulah mereka digaji, makan dan hidup.

Maka rasanya tak berlebihan kiranya kalau rumusan sila-sila yang akan membawa kehancuran bangsa ini sebagai berikut :

1. Keuangan Yang Maha Kuasa
2. Kebinatangan yang dzalim dan barbarian
3. Perpecahan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh egonya masing-masing dalam perdebatan/ perwakilan
5. Ketimpangan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Wallahu a'lam bi al shawab.

1 komentar:

Al Toro mengatakan...

Satu bangsa sebagai "identifable entity" yang kemudian membentuk satu "nation" harus berada dalam satu semesta BUDAYA (baca: culture). Bung Karno, Muh. Hatta, Muh. Yamin, dkk menggali BUDAYA INDONESIA dengan PANCASILA.

Sekarang, yang namanya SBY itu TIDAK NGERTI apa itu BUDAYA. Dia bilang "seni tari". Terus "budaya" dijadikan komoditi dagang plastik dalam paket pariwisata, katanya. Bagus sekali Bapak kita itu ...

Nah, kalau sudah begini maka yang terjadi adalah budi daya korupsi, budi daya tipu-daya, budi daya nyolong tapi bangga, budi daya ugal-ugalan, budi daya Agigang, Adigung, Adiguna ... yang ujung-ujungnya menghasilkan "collective sindrome" PENIPUAN dan PEMEDAYAAN alias "Caveat Emptor" sebagai bangkai budaya yang dianggap APIK ...