Jumat, 01 Juni 2012

GALAU

            GALAU menjadi trending topik yang cukup populer akhir-akhir ini. Anggara Jalu, keponakan saya yang duduk di kelas II SMU, selalu mengatakan galau kalau kehabisan pulsa atau batere HP-nya low-bat. Pratama, anak saya yang duduk di SD kelas VI akan teriak galau, kalau tiba-tiba listrik mati. Maklum, baru sibuk mempersiapkan ujian nasional. Sementara itu, istri saya juga akan ikut-ikutan bilang galau kalau internet di rumah lemot dan sering putus nyambung. Ya, galau menjadi semacam ungkapan perasaan kejiwaan yang campur aduk antara kecewa, marah, menyesal, geram, cemas, ragu maupun situasi psikologis lainnya yang tak terkatakan.
            Kalau kita amati kehidupan kita akhir-akhir ini, masyarakat maupun para pemimpin kita kelihatannya memang sedang galau. Betapa tidak. Setelah heboh koruptor ditangkap KPK dan demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan BBM, situasi galau makin menjadi-jadi.  Kita menyaksikan para pelajar dan mahasiswa makin gemar tawuran. Geng-geng motor di beberapa tempat mengamuk. Sementara itu Brimob di Gorontalo baku tembak dengan beberapa oknum anggota Kostrad. Negri kita yang semula dikenal orang-orangnya ramah dan santun, tiba-tiba bersumbu pendek sehingga mudah meledak marah.
            Kita baru saja memperingati hari Kartini, hari Pendidikan Nasional dan segera memasuki hari Kebangkitan Nasional. Namun hasilnya ternyata hikmah peringatan hari-hari besar nasional tersebut seolah tak membekas dan hanya berhenti pada upacara seremonial belaka. Peringatan itu dilakukan hanyalah sebagai ritual rutin oleh para pegawai negri dan anak-anak sekolah. Hasilnya tentu saja kering dan hampa.
            Walaupun demikian, hidup tetap harus terus berjalan. Bagi orang yang beriman kepada Allah SWT, tak boleh ada kata putus asa. Andaikan jalan hidup kita ini sudah on the track (shiratal mustaqim), pastilah Allah akan mengeluarkan kita  dari kegelapan menuju cahaya (minna dzulumati ila nuuri) (QS. al-Baqarah : 257). Namun, jikalau  kenyataannya kehidupan kita itu justru sebaliknya, yakni dari cahaya menuju kegelapan (minna nuri ila dzulumat), kita jadi khawatir, jangan-jangan selama ini kita berada  pada jalan yang dimurkai (maghdhub) dan sesat (dhallin). Oleh karena itu,  segeralah kita bertaubat dan mulai perbaikilah diri sendiri terus menerus.  
            Dalam keadaan yang serba galau ini marilah kita renungkan lima obat hati (Tombo Ati) warisan para Kiai dulu. Obat hati itu ada lima perkara. Yang pertama, baca  Qur’an dan  maknanya.  Yang  kedua, sholat  malam  dirikanlah. Yang ketiga,  berkumpullah dengan  orang sholeh. Yang keempat,  perbanyaklah  berpuasa. Yang  kelima,  dzikir  malam  perpanjanglah.  Salah satunya   siapa  bisa  menjalani. Moga-moga Gusti Allah mencukupi !” ( Bapake Tama di Serambi Jumat Koran Merapi, 4 Mei 2012).

Tidak ada komentar: