PACUL
atau cangkul merupakan alat utama sekaligus simbol perjuangan para petani di
desa. Jaman dahulu sebelum mekanisasi pertanian marak seperti sekarang ini,
alat pengolah tanah ini benar-benar menjadi primadona dan selalu ada di setiap rumah
di setiap kaum yang oleh Bung Karno dijuluki kaum Marhaen ini. Petani bersama
paculnya adalah dua hal yang tak terpisahkan. Di mana ada petani di situ ada
pacul, begitu pula sebaliknya. Pacul bagi kaum tani merupakan kunci pembuka pintu
rejeki.
Pacul dalam bentuk yang masih
tradisional memiliki empat komponen utama penyusunnya yaitu kayu pegangan
panjang (doran), pengikat doran dengan
logam pacul (bawak), pengganjal agar logam pacul tak lepas dari doran
(tanding) dan terakhir adalah logam tajam bagian ujung pacul (landepan). Agar
pacul berfungsi dengan baik, keempat komponen tersebut harus menyatu. Bila
salah satu saja komponen itu terlepas maka pacul akan kehilangan fungsinya.
Oleh karena sifatnya yang demikian maka pacul merupakan akronim dari “papat sing ora kena ucul (empat hal yang
tidak boleh lepas)”.
Konon dahulu, penamaan alat pengolah
tanah itu sebagai pacul diberikan oleh para wali di tanah jawa. Dan seperti
biasanya, para wali memberi nama sesuatu hal, pastilah selalu dikaitkan dengan sebuah
prinsip-prinsip hidup dalam agama Islam. Cara itu terbukti sangat efektif dan
mudah diingat oleh kaum tani.
Adapun filosofi pacul yang pertama adalah “aja doran” artinya seorang
manusia itu hendaknya jangan sampai
tidak percaya (maido) dengan ajaran Allah (Pangeran) sebagai sang
pencipta kehidupan. Inilah aspek yang paling dasar dari beriman. Beriman
bukanlah sekedar mempercayai belaka tetapi juga sekaligus membenarkan serta
yakin bahwa ajaran Allah adalah kebenaran yang sesungguhnya (bener kang
sejati).
Prinsip yang kedua, dalam hidup ini
modal keyakinan dalam hati saja belum cukup, melainkan harus dilengkapi dengan
karya nyata yang merupakan gerak dari seluruh anggota badan. Itulah yang
disebut “bawak” yaitu obahing awak: suatu aktivitas yang merupakan jelmaan dari
amal saleh orang-orang beriman.
Prinsip yang ketiga, hendaknya dalam
hidup ini jangan sekali-kali menyekutukan Allah dengan apapun. Artinya sebagai
makhluk ciptaan Allah, manusia jangan sekali-kali menandingkan Allah dengan apapun
juga. “La ilaha illallah”, itulah tali pengikat yang membedakan seorang mukmin
dengan seorang yang kafir. Dalam pacul ada “tanding” yang merupakan penguat
ikatan antara doran dan logam pacul agar
tidak longgar sehingga mudah lepas. Prinsip ini mengandung pesan: “Jangan
sekali-kali membuat tandingan-tandingan kepada Allah, karena sesungguhnya
syirik adalah sebuah dosa yang sangat besar. (Inna syirka ladzulmun ‘adzim).”
Prinsip yang keempat, manusia
dicipta oleh Allah dilengkapi dengan akal dan hati. Akal dan hati yang tajam
(landep), merupakan modal dasar dalam memahami dan menghayati ayat-ayat Allah
yang tertulis dalam Alquran maupun yang tergelar dalam alam semesta.
Nah,
marilah kita pegang erat-erat pacul kita dan jangan sampai lepas (ucul). Kita
ayunkan pacul kita untuk mengolah ladang kehidupan ini. Bukankah Rasullah SAW
bersabda, “Dunia ibarat ladang untuk akhirat”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar