Jumat, 01 Juni 2012

GUNDUL PACUL


GUNDUL PACUL sebagai sebuah lagu memiliki banyak tafsiran. Ada yang menganggap lagu  tradisional ini merupakan bentuk sindiran bagi tentara Jepang yang dikenal  pongah (gembelengan) menjajah Republik Indonesia. Anggapan ini bisa dimaklumi mengingat kebanyakan tentara Jepang biasanya berkepala plontos alias gundul.
            Tafsir lainnya menyatakan bahwa tembang ini sebenarnya berisi pesan tentang rahasia piramida Jawa yang konon tersimpan di gunung-gunung gundul di Nusantara. Di gunung gundul itu apabila digali (dipaculi), kita akan menemukan kemakmuran (harta karun) yang bisa dibagi untuk kesejahteraan bersama yang diibaratkan “segane dadi sak latar” (nasinya tumpah ruah memenuhi halaman).
            Lagu gundul pacul walaupun sederhana syairnya,  ternyata menyimpan  banyak nasehat. Walaupun demikian, kita hanya bisa meraba-raba kira-kira apa maunya dari pengarang lagu ini. Salah satu tafsir yang menarik lainnya adalah bahwa lagu  ini berkait dengan ilmu kepemimpinan (leadership).
            Dalam bahasa Jawa,  gundul sering diartikan kepala. Kita tahu,  bahwa kepala dalam tubuh kita sebagai pemegang fungsi komando bagi anggota tubuh yang lain. Dengan kata lain,  kepala sejatinya adalah pemimpin. Pemimpin yang baik memiliki empat hal yang tidak boleh lepas (ingat pacul adalah papat sing ora kena ucul). Empat hal tersebut adalah mata, telinga, hidung dan mulut. Kepala (gundul) bila tanpa keempat hal tersebut akan kehilangan fungsi-fungsi kepemimpinannya.
            Seorang pemimpin dituntut  mampu melihat masa depan (mata).  Pemimpin juga harus lebih banyak mendengar aspirasi rakyat yang dipimpinnya (telinga). Pemimpin mesti peka terhadap hal-hal yang berbau busuk perbuatan anak buahnya yang menyimpang (hidung). Disamping itu, seorang pemimpin hendaklah berkemampuan berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya (mulut). Pemimpin harus mampu memotivasi, mengarahkan, menegur  maupun memperingatkan orang-orang yang dipimpinnya.
            Pemimpin adalah manusia yang mau memikul amanah (nyunggi wakul). Maka seorang pemimpin pantang berlaku congkak (glelengan). Apabila glelengan itu dilakukan juga, cepat atau lambat amanah yang diembannya itu akan ngglimpang (jungkir balik) yang merusakkan  semua. Ibarat nasi maka sudah tumpah ruah memenuhi halaman (segane dadi sak latar).
            Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya.” Kita semuanya adalah pemimpin. Pemimpin bagi diri sendiri, keluarga maupun  masyarakat. Oleh karena itu, marilah kita jadi pemimpin yang senantiasa rendah hati dan jauh dari sifat gembelengan (sombong).  Pemimpin yang setia memegang amanah, mau mendengarkan dan mau mengerti  aspirasi rakyat yang dipimpinnya (always listening and always understanding).

PACUL

PACUL atau cangkul merupakan alat utama sekaligus simbol perjuangan para petani di desa. Jaman dahulu sebelum mekanisasi pertanian marak seperti sekarang ini, alat pengolah tanah ini benar-benar menjadi primadona dan selalu ada di setiap rumah di setiap kaum yang oleh Bung Karno dijuluki kaum Marhaen ini. Petani bersama paculnya adalah dua hal yang tak terpisahkan. Di mana ada petani di situ ada pacul, begitu pula sebaliknya. Pacul bagi kaum tani merupakan kunci pembuka pintu rejeki.
            Pacul dalam bentuk yang masih tradisional memiliki empat komponen utama penyusunnya yaitu kayu pegangan panjang (doran), pengikat doran  dengan logam  pacul (bawak), pengganjal  agar logam pacul tak lepas dari doran (tanding) dan terakhir adalah logam tajam bagian ujung pacul (landepan). Agar pacul berfungsi dengan baik, keempat komponen tersebut harus menyatu. Bila salah satu saja komponen itu terlepas maka pacul akan kehilangan fungsinya. Oleh karena sifatnya yang demikian maka pacul merupakan akronim dari  “papat sing ora kena ucul (empat hal yang tidak boleh lepas)”.
            Konon dahulu, penamaan alat pengolah tanah itu sebagai pacul diberikan oleh para wali di tanah jawa. Dan seperti biasanya, para wali memberi nama sesuatu hal,  pastilah selalu dikaitkan dengan sebuah prinsip-prinsip hidup dalam agama Islam. Cara itu terbukti sangat efektif dan mudah diingat oleh  kaum tani.
            Adapun filosofi pacul  yang pertama adalah “aja doran” artinya seorang manusia itu hendaknya jangan sampai  tidak percaya (maido) dengan ajaran Allah (Pangeran) sebagai sang pencipta kehidupan. Inilah aspek yang paling dasar dari beriman. Beriman bukanlah sekedar mempercayai belaka tetapi juga sekaligus membenarkan serta yakin bahwa ajaran Allah adalah kebenaran yang sesungguhnya (bener kang sejati).
            Prinsip yang kedua, dalam hidup ini modal keyakinan dalam hati saja belum cukup, melainkan harus dilengkapi dengan karya nyata yang merupakan gerak dari seluruh anggota badan. Itulah yang disebut “bawak” yaitu obahing awak: suatu aktivitas yang merupakan jelmaan dari amal saleh orang-orang beriman.
            Prinsip yang ketiga, hendaknya dalam hidup ini jangan sekali-kali menyekutukan Allah dengan apapun. Artinya sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia jangan  sekali-kali menandingkan Allah dengan apapun juga. “La ilaha illallah”, itulah tali pengikat yang membedakan seorang mukmin dengan seorang yang kafir. Dalam pacul ada “tanding” yang merupakan penguat ikatan  antara doran dan logam pacul agar tidak longgar sehingga mudah lepas. Prinsip ini mengandung pesan: “Jangan sekali-kali membuat tandingan-tandingan kepada Allah, karena sesungguhnya syirik adalah sebuah dosa yang sangat besar. (Inna syirka ladzulmun ‘adzim).”
            Prinsip yang keempat, manusia dicipta oleh Allah dilengkapi dengan akal dan hati. Akal dan hati yang tajam (landep), merupakan modal dasar dalam memahami dan menghayati ayat-ayat Allah yang tertulis dalam Alquran maupun yang tergelar dalam alam semesta.
Nah, marilah kita pegang erat-erat pacul kita dan jangan sampai lepas (ucul). Kita ayunkan pacul kita untuk mengolah ladang kehidupan ini. Bukankah Rasullah SAW bersabda, “Dunia ibarat ladang untuk akhirat”.

GALAU

            GALAU menjadi trending topik yang cukup populer akhir-akhir ini. Anggara Jalu, keponakan saya yang duduk di kelas II SMU, selalu mengatakan galau kalau kehabisan pulsa atau batere HP-nya low-bat. Pratama, anak saya yang duduk di SD kelas VI akan teriak galau, kalau tiba-tiba listrik mati. Maklum, baru sibuk mempersiapkan ujian nasional. Sementara itu, istri saya juga akan ikut-ikutan bilang galau kalau internet di rumah lemot dan sering putus nyambung. Ya, galau menjadi semacam ungkapan perasaan kejiwaan yang campur aduk antara kecewa, marah, menyesal, geram, cemas, ragu maupun situasi psikologis lainnya yang tak terkatakan.
            Kalau kita amati kehidupan kita akhir-akhir ini, masyarakat maupun para pemimpin kita kelihatannya memang sedang galau. Betapa tidak. Setelah heboh koruptor ditangkap KPK dan demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan BBM, situasi galau makin menjadi-jadi.  Kita menyaksikan para pelajar dan mahasiswa makin gemar tawuran. Geng-geng motor di beberapa tempat mengamuk. Sementara itu Brimob di Gorontalo baku tembak dengan beberapa oknum anggota Kostrad. Negri kita yang semula dikenal orang-orangnya ramah dan santun, tiba-tiba bersumbu pendek sehingga mudah meledak marah.
            Kita baru saja memperingati hari Kartini, hari Pendidikan Nasional dan segera memasuki hari Kebangkitan Nasional. Namun hasilnya ternyata hikmah peringatan hari-hari besar nasional tersebut seolah tak membekas dan hanya berhenti pada upacara seremonial belaka. Peringatan itu dilakukan hanyalah sebagai ritual rutin oleh para pegawai negri dan anak-anak sekolah. Hasilnya tentu saja kering dan hampa.
            Walaupun demikian, hidup tetap harus terus berjalan. Bagi orang yang beriman kepada Allah SWT, tak boleh ada kata putus asa. Andaikan jalan hidup kita ini sudah on the track (shiratal mustaqim), pastilah Allah akan mengeluarkan kita  dari kegelapan menuju cahaya (minna dzulumati ila nuuri) (QS. al-Baqarah : 257). Namun, jikalau  kenyataannya kehidupan kita itu justru sebaliknya, yakni dari cahaya menuju kegelapan (minna nuri ila dzulumat), kita jadi khawatir, jangan-jangan selama ini kita berada  pada jalan yang dimurkai (maghdhub) dan sesat (dhallin). Oleh karena itu,  segeralah kita bertaubat dan mulai perbaikilah diri sendiri terus menerus.  
            Dalam keadaan yang serba galau ini marilah kita renungkan lima obat hati (Tombo Ati) warisan para Kiai dulu. Obat hati itu ada lima perkara. Yang pertama, baca  Qur’an dan  maknanya.  Yang  kedua, sholat  malam  dirikanlah. Yang ketiga,  berkumpullah dengan  orang sholeh. Yang keempat,  perbanyaklah  berpuasa. Yang  kelima,  dzikir  malam  perpanjanglah.  Salah satunya   siapa  bisa  menjalani. Moga-moga Gusti Allah mencukupi !” ( Bapake Tama di Serambi Jumat Koran Merapi, 4 Mei 2012).