Kamis, 28 November 2013

NEGARA BAHAGIA

            KALAU ada sebuah kota, setiap warganya enggan ke luar rumah dan malah memilih berdiam diri di rumah masing-masing, maka kota itu merupakan kota yang sedang sakit. Itulah pandangan Ridwan Kamil Wali kota Bandung. Dari pandangan tersebut bisa diteruskan lebih luas lagi. Kalau ada sebuah negara, setiap warganya  sudah tidak percaya lagi kepada para pemimpinnya,   maka negara itu bukan sekedar sakit melainkan sedang menuju kehancuran.
            Kasus korupsi di BLBI, Century, Hambalang, pengadaan simulator SIM, Mahkamah Konstitusi dan semacamnya, benar-benar mengikis habis kepercayaan rakyat kepada para pemimpinnya. Sungguh, rakyat hanya ingin sekali melihat  negara ini segera menjadi adil, makmur, aman, tentram dan bahagia. Tetapi rupanya rakyat masih harus bermimpi lebih lama lagi. Uang rakyat yang jumlahnya trilyunan lenyap begitu saja dengan mudahnya dan tak ada-ada tanda-tanda  akan kembali. Negara yang seperti ini tentu saja bukanlah  negara yang bahagia.
            Legatum Institut, sebuah lembaga yang cukup kredibel berlokasi di London, belum lama ini meluncurkan laporannya  yaitu Legatum Prosperity Index 2013. Dari laporan indeks kebahagiaan suatu negara tersebut, ternyata Republik Indonesia berada pada posisi 69. Posisi ini jauh lebih rendah dibanding negara-negara tetangga kita seperti Malaysia (40), Sri Lanka (60), Vietnam (62) dan Filipina (66). Dalam kondisi yang seperti ini, artinya rakyat di negara tetangga kita jauh lebih berbahagia dibanding rakyat di negara kita.
            Bagaimanakah menciptakan rakyat dan negara bahagia? Allah menasehati kita agar lebih banyak bersyukur. "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu  kufur, maka pasti azab-Ku sangat berat."(QS Ibrahim: 14).
            Dari ayat di atas jelas bahwa bersyukur adalah lawan dari kufur. Bersyukur sama dengan  berislam secara utuh (kaffah).Yusuf Estes  (dai internasional) menjelaskan, dalam istilah Islam sudah tercakup  ketaatan (obedient), ketulusan (sincerity), ketundukan (submission), penyerahan diri (surrender) dan  perdamaian (peace). Kelima hal tersebut merupakan aspek terpenting dari bersyukur. Sebuah kata mutiara mengatakan, “Bukanlah bahagia dahulu kemudian bersyukur, melainkan bersyukurlah dahulu maka  bahagia akan mengikutinya”.
            Mudah-mudahan dengan kembali menghayati dan mengamalkan Islam (bersyukur) secara sungguh-sungguh, rakyat menjadi bahagia dan akhirnya tercipta negara yang bahagia pula.

Tidak ada komentar: